Filsafat Al-Razi : Metafisika, Teologi, Filsafat Moral, dan Kesimpulan



Pembahasan
  • Metafisika
  • Teologi
  • Filsafat Moral
  • Kesimpulan


Metafisika

Untuk memulai menerangkan metafisika al-Razi, pertama harus memlalui risalah kecil tentang-nya: Maqalah li Abi Bakr Muhammad Ibn Zakariya al-Razi fi ma ba’d al Tabi’ah (Raghib MS. No. 1463, ff. 90a-98b, di Istanbul). Banyak keraguan tentang tulisan ini, karena isinya tidak menyetujui sepenuhnya ajaran al-Razi.

Hal ini, sebagaimana dugaan Pines, mungkin dikarenakan mengikuti periode lain perkembangan pemikiran al-Razi, atau ini mungkin hanya berisi kutipan historis yang sistimatis dari gagasan-gagasan orang lain tanpa mengutip pemiliknya, atau barangkali sama sekali bukan tulisan al-Razi.

Betapapun, pokok-pokok karangan itu ialah:

(1) alam, (2) janin dan (3) kekekalan gerak. Ia menolak mereka yang berpendapat bahwa alam adalah prinsip gerak, terutama Aristoteles dan para pengulasnya: Jihn Porphyry, pertama ia menolak ketidakperluan membuktikan keberadaan alam, karena ia tak terbukti dengan sendirinya.

Bila alam itu satu dan sama, maka kenapa ia dapat menimbulkan berbagai akibat pada batu dan manusia? Jika alam menimbulkan tubuh, bukankah ini berarti bahwa dua benda dapat mempunyai satu tempat yang sama? Mengapa pengikut-pengikut pendapat itu mengatakan bahwa alam itu mati, tak dapat dirasakan, lemah, bodoh, terkekang, dan pada saat yang sama mereka menganggap bahwa alam mempunyai nilai yang sama dengan Tuhan?

Menolak Porphyry, pengarang mengatakan: Anda setuju bahwa adanya alam karena adanya sesuatu, bukan kebetulan belaka; kemudian mengapa Anda mengatakan bahwa alam itu mati dan bukannya suatu agen hidup.

Tapaknya pengarang ingin menolak semua ajaran yang beranggapan alam adalah prinsip gerak dan penciptaan, dengan menunjukkan kontradiksi-kontadiksi ajaran-ajaran itu. Ia berpendapat bahwa tidak ada tempat bagi mengakui alam sebagai prinsip aksi dan gerak. Tetapi ia tidak menentukan sikapnya risalah pendek yang disusunnya itu bersifat bersifat negatif dan destruktif.

Mengenai kekekalan gerak dan waktu, pengarang membahas terutama pendapat-pendapat Aristoteles dan Proclus. Ia menunjukkan penolakannya terhadap Proclus.

Kita tahu bahwa al-Razi pernah menulis risalah berjudul “Kesangsian terhadap Proclus”, dan Kraus beranggapan bahwa ini merupakan alasan tentang keaslian karangan ini sebagai tulisan al-Razi, tetapi kami berpendapat bahwa ini merupakan alasan yang lemah, karena karya Proclus de aetermitate banyak dibahas oleh pemikir-pemikir Arab setelah diterjemahkan oleh Ishaq ibn Hunain.

Menurut pengarang, waktu itu terbatas, dan tidak kekal, dunia juga terbatas hanya ada satu dunia, dan di luar dunia yang satu ini tidak maujud sesuatu pun (kecuali Tuhan). Di sini dia mengambil pendapat-pendapat Metrodorus dan Seleucus dari Placita Philosophorum-nya pseudo Plutarch.

Kecenderungan umum risalah ini bersifat polemis dan dialektis. Ia tak dapat dirujukkan dengan pendapat-pendapat al-Razi tentang waktu, ruang dan Tuhan. Karena itu, kita berpendapat bahwa tulisan tersebut adalah palsu dan tak dapat dikatakan sebagai tahapan lain perkembangan jiwa al-Razi.

Doktrin sejati al-Razi dapat dicari dalam buku-nya Kitab al-Ilm al-Ilahi. Tetapi sayang, karya itu hilang dan kita hanya memiliki bantahan-bantahan dari beberapa bagian halaman yang dikumpulkan oleh Kraus. Kita bahkan tidak memiliki bagian-bagian naskah karya al-Razi.

Dengan sebuah kritik lawan, tak bisa berbuat lain kecuali puas dengan bantahan-bantahan tersebut. Apa yang dapat kita simpulan dari sini adalah bahwa al-Razi menulis dalam buku ini tentang: ruang, kehampaan waktu, materi, perpidnahan jiwa, kenabian, kebahagiaan, dan Manichaeisme.

Filsafata al-Razi terutama diwarnai oleh Doktrinnya tentang Lima Kekekalan. Al-Biruni mengatakan bahwa “Muhammad ibn Zakaria al-Razi telah melaporkan kekekalan lima hal dari Yunani kuno, yaitu: Tuhan, Ruh Universal, materi pertama, ruang mutlak, dan waktu mutlak, kelima hal ini menjadi landasan ajarannya.

Tetapai ia membedakan antara waktu dan keberlangsungan dengan mengatakan bahwa angka berlaku bagi satu dan bukan yang lain, karena keterbatasan berkaitan dengan keangkaan, karena itu para filosof mendefinisikan waktu sebagai keberlangsungan yang berawal dan berakhir, sedangkan keberlangssungan (dahr) tidak berawal dan tidak berakhir.

Dia juga mengatakan bahwa dalam Kemaujudan lima hal berikut adalah perlu: kesadaran bahwa materi terbentuk oleh susunan ia berkaitan dengan ruang, karena itu harus ada ruang (tempat), pergantian bentuknya merupakan kekhasan waktu, karena ada yang dahulu dan ada yang berikut, dan karena waktu, maka ada kekunoan dan kebaruan, ada kelebih tuaan dan ke lebuhmudaan karenanya waktu itu perlu.

Dalam Kemaujudan, terdapat kehidupan, karena itu mesti ada ruh? Dan hal ini mesti ada yang dimengerti dan hukum yang mengaturnya haruslah sepenuhnya sempurna karena itu, dalam kenyataan ini, harus ada pencipta, yang bijaksana, mahatahu, melakukan segala seuatu sesempurna mungkin, dan memberikan akal sebagai bekal mencari keselamatan.”

Dua dari lima kekekalan itu, hidup dan bergerak: Tuhan dan ruh yang pasif dan tidak hidup materi pembentuk setiap wujud dan dua lagi tidak hidup, tidak bergerakm dan tidak pasif: kehampaan dan keberlangsungan. Kadang kita mendapatkan kehampaan (khala’) di samping ruang (makan), dan keberlangsungan dalam pengertian yang terbatas (muddah).

Ajaran ini di dalam beberapa sumber (al-Fakhr al-Razi, al-Syahrastani, Nasir al-Din al-Tusi)m, dianggap sebagai berasal dari apa yang disebut Harraniyyah.

Siapakah Haraniyyah? Kata ini berasal dari Harran, sebuah kota terkenal di Sabian dan merupakan pusat studi menjelang Islam dan empat abad pertama pada masa Islam. Masignon menduga bahwa Harraniyyah adalah orang yang hanya terdapat dalam khayalan, karena apa yang kita peroleh tentang mereka dalam sumber-sumber yang ada hanya sekedar tulisan romantis.

Krakaus juga berpendapat serupa, dan ia memberikan alasan-alasan sebagai berikut:

(a) sebelum al-Razi tidak kita dapatkan seorang pun menganggap doktrin lima kekekalan itu berasal dari Harraniyyah.

(b) dalam bukunbya ‘Ilm al-Ilahi, al-Razi menjelaskan doktrin Harraniyyah dari Sabian itu beserta doktrin lima kekekalan.


Tetapi kemudian Kraus memberikan alasan ke tiga yang sangat bertentangan dengan keuda bukti tersebut, yaitu: al-Biruni, al-Marzuki, al-Katibi, dan al-Tusi mengatakan bahwa al-Razi menulis kembali doktrin ini dari Yunani kuno, yaitu dari filosof-filosof Yunani awal, terutama Pythagoras, Demokritus, dan sebagainya.

Bagaimana kita dapat mengatakan bahwa al-Razi mengambil sumber ajarannya itu dari aliran pemikiran khayali Harraniyyah, padahal ia sendiri mengatakan secara jelas dalam ‘Ilm al-Ilahi, bahwa ajaran itu berasal dari filosof-filosof Yunani awal? Ia tidak perlu mencari pembenaran dari Harraniyyah ketika ia mentakan bahwa ajaran itu berasal dari para filosof Yunani awal.

Dengan alasan ini maka tidak kita terima pendapat Massignon, atau pun bukti-bukti dari Kraus yang sangat lemah itu. Pendapat yang menyamakan gagasan-gagasan al-Razi dengan suatu sumber lain yang menyutakan gagasan-gagasan itu berasal dari Harrniyyah, tidak dapat diterima, kecuali hal ini dinyatakan dalam sumber itu sendiri.

Berikut ini akan kita bahas Lima Kekekalan:

(i) Tuhan


Kebijakan Tuhan itu sempurna. Ketidak sengajaan tidak dapat disifatkan kepada-Nya. Kehidupan berasal dari-Nya sebagaimana sinar datang dari matahari. Ia mempunyai Kepandaian sempurna dan murni. Kehidupan ini mengalir dari ruh. Tuhan menciptakan segala sesuatu, tiada bisa menandingi-Nya, dan tak sesuatu pun dapat menolak kehendak-Nya. Tuhan mengetahui sepenuhnya segala sesuatu.

Tetapi ruh hanya mengetahui apa yang berasal dari pengalaman. Tuhan mengetahui bahwa ruh cenderung kepada materi dan membutuhkan kesenangan bendawi, kemudian ruh mengikatkan dirinya pada materi Tuhan dengan kebijakan-Nya mengatur ikatan tersebut supaya dapat tercapai jalan paling sempurna.

Setelah itu Tuhan memberikan kepandaian dan kemampuan pengamatan kepada ruh. Inilah sebanya kenapa ruh mengingat dunia nyatanya, dan mengetahui bahwa selama ia berada di dunia benda, ia tak kan pernah bebas dari rasa sakit, jika ruh mengetahui hal itu, dan juga mengetahui bahwa di dunia nyata ia akan mempunyai kebahagiaan ranpa rasa sakit, maka ia menghasratkan dunia itu, dan begitu ia terpisah dari materi, maka ia akan tinggal di sana untuk selamanya dengan penuh bahagia.

Dengan begitu, seluruh keraguan tentang kekekalan dunia dan maujudnya kejahatan dapat dihilangkan. Bila kita mengakui adanya kebijakan Sang Pencipta, maka kita harus mengakui pula bahwa dunia ini diciptakan. Bila orang bertanya kenapa dunia diciptakan pada saat ini atau itu, kita jawab karena ruh mengikatkan dirinya pada materi pada saat itu.

Tuhan tahu bahwa pengikatan ini merupakan sebab kejahatan, tetapi setelah hal itu terjadi, Tuhan mengarahkannya ke jalan yang sebaik mungkin. Akan tetapi beberapa kejahatan tetap ada sumber seluruh kejahatan, susunan ruh dan materi ini sepenuhnya tak dapat dimurnikan.


(ii) Ruh


Menurut al-Razi, tuhan tidak menciptakan dunia lewat desakan apa pun, tetapi Ia memutuskan untuk menciptakannya setelah pada mulanya tidak berkehendak menciptakannya. Siapakah yang membuat-Nya melakukam yang demikian itu? Harus ada keabadian lain yang membuat Ia melakukan hal ini.

Keabadian lain ini iala ruh yang hidup, tetapi ia bodoh. Materi, juga kekal. Karena kebodohannya, ruh mencintai materi dan membuat bentuk darinya untuk memperoleh kebahagiaan bendawi. Tetapi materi menolak sehingga Tuhan campur-tangan untuk membantu ruh. Bantuan inilah, Tuhan membuat dunia dan menciptakan di dalamnya bentuk-bentuk yang kuat, yang di dalamnya ruh dapat memperoleh kebahagiaan jasmani.

Kemudian Tuhan menciptakan manusia dan dari zat ketuhanan-Nya. Ia menciptakan intelegensi manusia guna menyadarkan ruh dan menunjukkan kepadanya bahwa dunia ini bukanlah dunia sejatinya.

Tetapi manusia tidak dapat mencapai dunia sejati kecuali dengan filsafat. Mereka yang mempelajari filsafat dan mengetahui dunia sejatinya dan memperoleh pengetahuan akan selamat dari keadaan buruknya. Ruh-ruh tetap berada di dunia ini sampai mereka disadarkan oleh filsafat akan rahasia dirinya dan diarahkan kepada dunia sejati.


(iii) Materi

Kemutlakan materi pertama terdiri atas atom-atom. Setiap atom mempunyai volume kalau tidak maka dengan pengumpulan ataom-atom itu, tiada dapat dibentuk. Bila dunia dihancurkan maka ia terpisah-pisah dalam bentuk atom-atom. Dengan demikian, materi berasal dari kekelan, karena tidak mungkin menyatakan bahwa sesuatu berasa dari ketiadaan.

Apa yang lebih padat menjadi unsur bumi, apa yang lebih ringan daripada unsur bumi menjadi unsir air, apa yang lebih renggang lagi menjadi unsur udara, dan yang jauh lebih jarang menjadi unsur api.

Wujud lingkungan juga terdiri atas partikel-partikel materi, tetapi susunannya berbeda dengan susunan wujud lain. Buktinya gerak lingkungan tidak menuju ke pusat dunia, tetapi ke garis kelilingnya. Wujud ini tidak begitu padat, sebagai mana bumi, tidak begitu renggang sebagaimana api atau air.

Kualitas-kualitas seperti berat, ringan, gelap, terang dapat dijelaskan dengan kelebihan atau kekurang hampaan yang ada dalam materi. Kualitas adalah suatu kejadian yang disebabkan oleh unsur wujud, dan unsur wujud adalah materi.

Al-Razi memberikan dua bukti untuk memperkuat pandangannya tentang kekekalan materi. Pertama, penciptaan adalah bukti dengan demikian mesti ada Pencipta. Apa yang diciptakan itu ialah materi yang terbentuk.

Tetapi, mengapa kita membuktikan bahwa Pencipta ada terlebih dahulu dari yang dicipta? Dan bukannya yang diciptakan itu yang lebih dahulu ada? Bila benar bahwa wujud tercipta (atau lebih tepat dibuat (masnu) dan sesuatu dengan kekuatan agen, maka kita dapat mengatakan apabila agen ini kekal dan tak dapat diubah dengan kehendak-Nya, maka yang menerima tindak kekuatan ini tentu kekal sebelum ia menerima tindak tersebut. Penerimanya adalah materi. Jadi materi itu kekal.

Bukti kedua berlandaskan ketidakmungkinan penciptaan dari ketiadaan. Penciptaan, dari ketiadaan. Penciptaan, katakanlah, yang membuat sesuatu dari ketiadaan, lebih muda daripada menyusunnya. Diciptakannya manusia oleh Tuhan dalam sekejap lebih mudah daripada menyusun mereka dalam empat puluh tahun. Inilah premis pertama.

Pencipta yang bijak tidak lebih menghendaki melaksanakan apa yang lebih jauh dari tujuan-Nya daripada yang lebih dekat , kecuali apabila Dia tidak mampu melakukan apa yang lebih mnudah dan lebih dekat. Ini adalah premis kedua.

Kesimpulan dari premis-premis ini adalah bahwa keberadaan segala sesuatu pasti disebabkan oleh Pencipta dunia lewat penciptaan dan bukan lewat penyusunan. Tetapi apa yang kita lihat terbukti sebaliknya. Segala seuatu di dunia ini dihasilkan oleh susunan dan bukan oleh penciptaan. Bila demikian maka, Ia tidak mampu menciptakan dari ketiadaan, dan dunia ini mewujud melalui susunan sesuatu yang asalnya adalah materi.

Al-Razi menambahkan bahwa indikasi alam semesta membuktikan hal ini. Bila tiada sesuatu pun mewujud di dunia ini kecuali sessuatu yang lain, maka berarti alam ini dibuat dari sesuatu yang lain, dan sesuatu yang lain ini adalah materi. Karenanya materi itu kekal pada dasarnya ia bukan tersusun tetapi tersendiri.


(iv) Ruang

Sebagaimana telah dibuktikan bahwa materi itu kekal, dan karena materi menempati ruang, maka ada ruang yang kekal. Alasan ini hampir serupa dengan alasan al-Iransyahri. Teapi al-Iransyahri mengatakan bahwa ruang merupakan kekuasaan nyata Tuhan. Al-Razi tak mengikuti definisi yang kabur dari gurunya. Bagi dia, ruang adalah tempat keberadaan materi.

Al-Razi membedakan ruang menjadi dua macam: ruang universal atau mutlak, dan ruang tertentu atau relatif. Yang pertama tak terbatas, dan tidak tergantung kepada dunia dan segala yang ada di dalamnya.

Kehampaan ada di dalam ruang, dan karenanya, ia berada di dalam materi. Sebagai bukti dari ketidakterbatasan ruang, al-Iransyahri dan al-Razi mengatakan, bahwa wujud yang memerlukan ruang tidak dapat maujud tanpa adanya ruang, meski ruang bisa maujud tanpa adanya wujjud tersebut.

Ruang tak lain adalah tempat bagi wujud-wujud yang membutuhkan ruang. Yang berisi keduanya yaitu wujud, atau bukan wujud. Bila wujud, maka ia harus berada di dalam ruang, bila tiada ruang, maka ia adalah wujud dan terbatas. Bila bukan wujud berarti ruang.

Karenanya, ruang itu tidak terbatas. Bila orang berkata bahwa ruang mutlak ini terbatas, maka ini berarti bahwa batasnya adalah wujud. Karena setiap wujud itu berbatas, sedang setiap wujud berada di dalam ruang, maka ruang bagaimana pun tak terbatas. Yang tak terbatas itu adalah kekal, karenanya ruang itu kekal.

Kehampaan mempunyai kekuatan menarik wujud-wujud, karenanya, air tetap berada di dalam botol yang dimasukkan ke dalam air, meskipun botol tersebut terbuka dan terbalik.

(v) Waktu
Menurut al-Razi, waktu itu kekal. Ia merupakan substansi yagn mengalir (jauhar yajri). Al-Razi menantang mereka (Aristoteles dan pengikut-pengikutnya) yang berpendapat bahwa waktu adalah jumlah gerak benda, karena jika demikian, maka tidak mungkin bagi dua benda yang bergerak untuk bergerak dalam waktu yang sama dengan dua jumlah yang berbeda.

Al-Razi membagi waktu menjadi dua macam, yaitu: waktu mutlak dan waktu terbatas (mahsur). Waktu mutlak adalah keberlangsungan (al-Dahr).

Ia kekal dan bergerak. Sedangkan waktu terbatas adalah gerak lingkungan-lingkungan, matahari dan bintang-bintang. Bila Anda berpikir tentang gerak keberlangsungan, maka Anda dapat membayangkan waktu mutlak, dan ia itu kekal. Jika Anda membayangkan gerak bola bumi, berarti Anda membayangkan waktu terbatas.


Teologi Al Razi

Al-Razi adalah seorang yang bertuhan, tetapi ia tidak mempercayai wahyu dan kenabian. Kita batasi diri kita dengan memberikan ringkasan gagasan-gagasan pokoknya.

Al-Razi membantah kenabian dengan alasan-alasan berikut:

1. Akal sudah memadai untuk membedakan antara yang baik dan yang jahat, yang berguna dan yang tak berguna. Dengan akal semata kita dapat mengetahui Tuhan dan mengatur kehidupan kita sebaik-baiknya. Lalu kenapa dibutuhkan nabi?

2. Tiada pembenaran bagi pengistimewaan beberapa orang untuk membimbing semua orang, sebab semua orang lahir dengan kecerdasan yang sama; perbedaannya bukanlah karena pembawaan alamiah, tetapi karena pengembangan dan pendidikan.

3. Para nabi saling bertentangan. Bila mereka berbicara atas nama satu Tuhan yang sama, mengapa terdapat pertentangan?

Setelahj menolak kenabian, al-Razi lalu mengkritik agama secara umum. Ia menjelaskan kontradiksi-kontradisksi kaum Yahudi, Kristen, Mani dan Majusi. Ia memberikan alasan berikut untuk pengikatan manusia kepada agama:

a. Meniru dan kebiasaan.

b. Kekuasaan ulama yang mengabdi negara

c. Manifestasi lahiriah agama, upacara-upacara dan peribadatan yang mempengaruhi mereka yang sederhana dan naif.


Ia menunjukkan kontradiksi-kontradiksi antar agama secara terinci.

Al-Razi mengkritik secara sistimatik kitab-kitab wahyu Al-Qur’an dan Injil. Ia mencoba mengkritik yang satu dengan menggunakan yang lainnya misal, ia mengkritik agama Yahudi dengan paham-paham mani. Kristen dengan Islam dan kemudian ia mengkritik al-Quran dengan Injil. Ia terutama menolak mu’jizat Al-Quran, baik karena gayanya maupun isinya dan menegaskan bahwa adalah mungkin menulis kitab yang lebih baik dalam gaya yang lebih baik.

Ia lebih menyukai buku-buku ilmiah daripada kitab-kitab suci, sebab buku-buku ilmiah lebih berguna bagi kehidupan manusia daripada kitab-kitab suci. Buku-buku kedokteran, geometri, astronomi dan logika lebih berguna daripada Injil dan Al-Quran. Penulis-penulis buku-buku ilmiah ini telah menemukan kenyataan dan kebenaran melalui kecerdasan mereka sendiri tanpa bantuan para nabi.

Ilmu pengetahuan berasal dari tiga sumber: pemikiran, yang didasarkan pada logika, tradisi dari para pendahulu kepada para pengganti yang didasarkan pada bukti meyakinkan dan akurat seperti dalam sejarah dan naluri yang menuntuk manusia tanpa melalui banyak pemikiran.

Setelah mengkritk ia mengatakan bahwa tidaklah masuk akal bahwa Tuhan mengutus para Nabi, karena mereka melakukan banyak kemudharatan. setiap bangsa percaya hanya kepada para nabinya, dan menolak keras yang lain, yang mengakibatkan terjadinya banyak peperangan keagamaan dan kebencian antar bangsa yang memeluk berbagai agama berbeda.

Gagasan-gagasan al-Razi ini sangat berani. Tak seorang pemikir Muslim lain pun seberani dia.


Filsafat Moral

Filsafat moral al-Razi terdapat hanya dalam karyanya:

Al-Tibb al-Ruhani dan al-Shirat al-Falsafiyyah.

Karya yang kedua ini merupakan pembenar perihidupnya dari sudut pandang filsafat, sebab ia dicela oleh beberapa orang lantaran ia tidak sebagaimana gurunya, Socrates. Ia berpendapat bahwa seorang filosof harus moderat tidak terlalu menyendiri, tidak terlalu memperturutkan hawa nafsu.

Ada dua batas dalam hidup ini: batas tertinggi dan batas terendah. Batas tertinggi adalah batas yang tidak boleh dilampaui oleh para filosof, yaitu berpantang dari kesenangan yang dapat diperoleh hanya dengan melakukan ketidakadilan dan melakukan hal-hal yang bertentangan dengan akal.

Sedang batas terendah ialah memakan sesuatu yang tidak membahayakan atau menyebabkan sakit dan memakai pakaian yang cukup untuk melindungi kulitnya, dan sebagainya. Di antara kedua batas itu, orang dapat hidup tanpa ketakterlayakan.

Al-Razi menyatakan bahwa dalam hidupnya ia tak pernah melanggar kedua batas ini. Ia tidak mengabdi suatu kerajaan, sebai menteri atau militer, tetapi sebagai dokter dan penasihat. Ia tidak rakus dan tidak bermusuhan dengan orang lain, sebaliknya ia sangat tenggang rasa terhadap hak-haknya sendiri. Ia tidak pernah minum, makan dan hidup berlebihan.

Cintanya kepada ilmu pengetahuan dan belajar, diketahui semua orang. Dari sudut pandang teori, karya-karyanya membuat ia disebut sebagai filosof.

Dalam al-Tibb al-Ruhani, ia membahas, dalam dua puluh bab, masalah-masalah pokok etika. Ia ingin menjelaskan apakah keburukan itu, dan bagaimana cara menghindarinya.

Ia membuka dengan memuji akal, sebagaimana telah kita ketahui di atas. Kemudian dalam medius res, ia bertanya tentang hawa nafsu. Ia berkata bahwa manusia harus mengendalikan hawa nafsunya ia mengemukakan perbedaan-perbedaan yang dikemukakan oleh Plato tentang tiga aspek jiwa: nalar, kebengkangan, dan hasrat, dan menunjukkan bagaimana keadilan mesti mengatasi semua itu.

Perlulah bagi manusia mengetahui kekurangan-kekurangannya. Dengan demikian ia dapat meminta seorang kawan yang bernalar untuk mengtakan kekurang-kekurangannya. Ia harus mengetahui perihal orang lain, tetangga, teman yang berpikir tentang dirinya.

Di sini al-Razi bertumpu pada tulisan Galen:

“Perihal Mengetahui Kekurangan-Kekurangan Diri Sendiri.”
,dan “Bagaimana Para Bijak Memperoleh Manfaat Musuh Mereka.”

Inilah isi dari bab-bab permulaan. Pada bab lima, ia menjelaskan teorinya tentang kesenangan, suatu teori yang ia bahas lagi dalam sebuah surat khusus. Baginya, kebahagiaan tidak lain adalah kembalinya apa yang telah tersingkir oleh kemudharatan, misal: orang yang meninggaikan tempat yang teduh menuju ke tempat yang penuh sinar matahari dan panas, akan senang ketika kembali ke tempat teduh tadi.

Dengan alasan ini, kata al-Razi, para filosof alami mendefinisikan kebahagiian sebagai kembali kepada alam.

Al-Razi mengutuk cinta sebagai suatu keberlebihan dan ketundukan kepada ahawa nafsu. Ia juga mengutuk kepongahan dan kelengahan, karena hal itu menghalangi orang dari belajar lebih banyak dan bekerja lebih baik. Keirihatian merupakan perpaduan kekikiran dan ketamakan.

Orang yang iri hati adalah orang yang merasa sedih bila orang lain memperoleh sesuatu kebaikan, meski tak keburukan pun menimpa dirinya. Bila keburukan menimpa dirinya, maka yang muncul bukan hanya keirihatian tetapi juga permusuhan. Bila orang menyenangkan dirinya dengan yang dibutuhkannya, maka di dalam jiwanya tiada tempat bagi keirihatian.

Kemarahan muncul dalam diri binatang agar mereka dapat melakukan pembelaan terhadap bahaya yang mengancam. Bila berlebihan, hal itu berbahaya sekali bagi mereka.

Dusta adalah suatu kebiasaan buruk. Dusta dibagi menjadi dua: untuk kebaikan dan untuk kejahatan. Bila dusta dilakukan untuk kebaikan, maka hal itu terpuji; tetapi sebaliknya, apabila untuk kejahatan hal itu tercela. Oleh karena itu, nilai dusta terletak pada niat.

Sifat kikir tidak dapat ditolak sepenuhnya. Nilainya terletak pada alasan melakukannya. Bila kekikiran tersebut disebabkan oleh rasa takut menjadi miskin dan rasa takut akan masa depan, maka ini tidaklah buruk. Tetapi bila hal ini dilakukan sekedar ingin memperoleh kesenangan, maka hal ini adalah buruk.

Oleh karena itu, harus ada pembenaran terhadap kekikiran seseorang bila hal itu mempunyai alasan yang dapat diterima, maka ini bukanlah kejahatan, tetapi jika sebaliknya, maka ini harus diperangi.

Kekhawatiran, bila berlebihan, maka tidak baik, sebab keberlebihannya, tanpa alasan yang baik dapat menyebabkan terjadinmya halusinasi, melankolik dan kelayuan dini.

Tamak adalah suatu keadaan yang sangat buruk yang dapat menimbulkan rasa sakit dan bencana. Mabuk menyebabkan malapetaka dan sakitnya jiwa dan raga.

Persetubuhan, bila berlebihan, tidak baik bagi tubuh; ia mempercepat proses ketuaan, menjadikan lemah dan menimbulkan berbagai macam penyakit lainnya. Sebaliknya hal itu dilakukan sesedikit mungkin, karena bila dilakukan berlebihan menyebabkan lebih banyak akibat yang buruk.

Sifat sembrono, dalam banyak hal juga mencelakakan. Mencari harta benda adalah baik bagi kehidupan hanya bila secukupnya. Tak perlu memburu-buru kekayan yang melebihi kebutuhan kecuali sedikit simpanan untuk keperluan mendadak dan untuk keadaan buruk di masa mendatang.

Ambisi bisa menyebabkan berbagai keanehan dan bencana. Adalah sangat baik bila kita dapat memperoleh kedudukan lebih tinggi tanpa melalui berbagai keanehan dan hal-hal yang membahayakan lebih baik meninggalkan atau menghindarinya.

Pada bab terakhir, ia menulis tema yang paling sesuai dala pemikiran Hellenistis dan abad pertengahan awal yaitu tentang takut mati. Di sini, al-Razi mencukupkan dirinya dengan pendapat orang-orang yang berpendirian bahwa bila tubuh hancur, maka ruh juga hancur. Setelah mati, tak sesuatu pun terjadi pada manusia, karena ia tak merasakan apa-apa lagi.

Selama hidupnya, manusia selalu merasa sakit, tetapi setelah mati, ia tidak akan merasa sakit selamanya. Sebaiknya orang yang menggunakan nalar menghindari rasa takut mati, karena bila mempercayai kehidupan lain, maka ia tentu gembira, karena melalui mati ia pergi ke dunia lain yang lebih baik.

Bila ia percaya bahwa tiada sesuatu pun setelah mati, maka ia tak perlu cemas. Betapa pun orang tidak perlu merasa cemas akan kematian, karena tidak ada alasan untuk merasa cemas.


Kesimpulan

Al-Razi tiak memiliki sistem filsafat yang teratur, tetapi melihat masa hidupnya, ia mesti dipandang sebagai pemikir yang tegar dan liberal di dalam Islam, dan mungkin di sepanjang sejarah pemikiran manusia.

Ia adalah seorang rasionalis murni, sangat mempercayai kekuatan akal, bebas dari segala prasangka, dan sangat berani dalam mengemukakan gagasan-gagasannya tanpa tedeng aling-aling.

Ia mempercayai manusia, kemajuan, Tuhan Mahabijak, tetapi ia tidak mempercauai agama mana pun.



Sumber Buku :

“PARA FILOSOF MUSLIM”
“MUHAMMAD IBN ZAKARIA AL-RAZI”
Diterjemahkan dari Buku Tiga, Bagian Tiga
“The Philosopers”, dari buku History of Muslim Philosoph
Suntingan M.M. Syarif M.A.
Otto Horrassowitz, Welsbaden. 1963
Penyunting : Ilyas Hasan
Penerbit : Mizan
Tahun : Cetakan ke VII 1994
Penyadur : Pujo Prayitno

No comments