Filsafat Muslim : Filsafat Ibn Rusyd (Jalan Menuju Pengetahuan)
JALAN MENUJU PENGETAHUAN
Kini kita tinggalkan ibn Rusyd, sebagai filosof Muslim yang ahli Fiqh itu, dan kita temui ibn Rusyd sebagai pengulas karya-karya Aristoteles, yang lebih setia kepada “Sang Guru Pertama” dibanding Alexander dari Aphrodiasisas dan Themistius.
Filsafat abad pertengahan di Eropa dipengaruhi oleh Aristoteles lewat ulasan-ulasan yang ditulis oleh ibn Rusyd, sebagaimana diungkapkan secara tepat oleh Gilson, “Cukup aneh, sedikit sekali orang yang lebih berpengaruh dariapda ibn Rusyd dalam membentuk pikiran umum mengenai filsafat abad pertengahan yang kini diterima sebagai kebenaran sejarah.”
Memang benar bahwa sistem utamanya yaitu sistem Aristoteles, tapi karena terpengaruh gagasan-gagasan yang diterimanya dari berbagai sumber, dia memberikan bentuk baru pada sistem tersebut.
Jalan menuju pengetahuan merupakan salah satu masalah besar yang dibahas dalam filsafat Muslim, dikarenakan oleh keterkaitannya dengan kemaujudan-kemaujudan yang lebih tinggi, yaitu “akal perantara” (agent intellect) yang dengan akal tersebut manusia berhubungan.
Oleh ibn Rusyd, akal dan ruh dibedakan dengan hati-hati, dalam pemikirannya tentang proses pengetahuan. Diperlukan pemahaman penuh mengenai urutan hirarki dari segala periada guna memahami kedudukan dua entitas ini. Inilah sebabnya mengapa ibn Rusyd membuka risalahnya Talkhis Kitab al-Nafs dengan memberikan ulasan pendek tentang komposisi periada-periada itu.
Sejak mula sekali dia mengatakan:
“Tujuan risalah ini ialah mengemukakan pendapat-pendapat para pengulas dalam bidang psikologi, yang lebih dekat hubungannya dengan ilmu alam dan lebih sesuai dengan tujuan Aristoteles. Sebelum itu,akan lebih relevan bila suatu pendahuluan pendek mengenai prinsip-prinsip muhim yang disyaratkan bagi memahami ubstansi ruh (soul).”
Prinisp-prinsip itu adalah:
(1) Segala periada yang fana terdiri atas materi dan bentuk, yang masing-masing dengan sendirinya bukan suatu wujud, meskipun melalui gabungan keduanya, wujud itu maujud.
(2) Materi utama tidak memiliki eksistensi aktual, dan hanya merupakan suatu kemampuan untuk menerima bentuk-bentuk.
(3) Wujud-wujud sederhana pertama yang merupakan perwujudan materi utama itu merupakan empat unsur, yaitu : api, air, udara dan bumi.
(4) Unsur-unsur itu masuk ke dalam susunan wujud-wujud lain lewat percampuran. Sebab jauh dari percampuran ini yaitu wujud-wujud angkasa. (5) Panas alam merupakan sebab utama adanya percampuran itu.
(6) Benda-benda organik dihasilkan dari individu-individu hidup yang sejenis dengan benda-benda organik iu lewat panas alam. Jiwa merupakan sebab paling dekat dari pembentukan terus menerus mereka dan intelegensi yang menggerakkan lingkungan itu merupakan sebab jauh.
Sebelum membahas psikologi lebih jauh, ibn Rusyd mengajukan pertanyaan yang penting: “Apakah bentuk itu dapat bereksistensi tanpa materi?” Jawabannya merupakan jalan sejati pengetahuan.
Bentuk materi tidak pernah dapat dipisahkan dari materi, karena bentuk fisik – yang istilah lain dari bentuk materi – bisa maujud hanya dalam materi. Oleh sebab itu bentuk-bentuk tersebut sementara dan berubah-ubah. Mereka tidak kekal sebab mereka tidak memiliki substansi kecuali dalam materi.
Maka bentuk-bentuk terpisah itu merupakan sesuatu yang bukan bentuk-bentuk material. Karenanya, keterpisahan jiwa rasional yaitu akal, hanya dapat ditunjuukkan jika bisa dibuktikan bahwa akal merupakan bentuk murni. Jiwa tidak terpisah sebab ia merupakan “bentuk dari wujud alamiah organik.”
Jiwa dibagi menurut tindakan-tindakannya, menjadi lima bagian : Jiwa nutritif, sensitif, imajinatif, kognitif dan apetitif, dan yang disebut terakhir ini tampaknya lebih sesuai kalau ditempatkan sesuah yang imajinatif dan yang sensitif.
Hirarki unsur-unsur itu bertumpu pada tatanan bentuk-bentuk material yang disebutkan di atas. Cara hewan mendapatkan pengetahuan yaitu lewat perasaan dan imajinasi, sedangkan cara manusia mendapatkan pengetahuan yaitu, selain lewat dua cara tersebut, lewat akal.
Dengan demikian jalan menuju pengetahuan yaitu lewat perasaan atau lewat akal, yang membawa kepada pengetahuan mengenai hal-hal tertentu atau universal. Pengetahuan yang sebenarnya yakni pengetahuan mengenai hal-hal yang universal, kalau tidak maka binatang dikaakan memiliki pengetahuan.
Istilah “pengetahuan” diberlakukan secara kabur pada binatang, manusia dan Tuhan. Pengetahuan binatang terbatas oleh perasaan dan imajinasi, sedangkan pengetahuan manusia bersifat universal. Perasaan dan imajinasi terdapat pada binatang untuk kelestarian mereka. Untuk keamanan, menjaga diri dan mendapatkan makanan, hewan mesti mendekati atau menjauhi hal-hal yang dapat dirasakan. Kalau hal-hal yang dapat dirasakan itu ada, maka hal-hal itu dicerap oleh indera dan kalau hal-hal yang dapat dirasakan tidak ada, maka hal-hal itu digantikan oleh gambaran-gambaran mereka.
Jadi persaan merupakan kondisi gambaran, dan “setiap kemaujudan yang memiliki gambaran tentu memiliki pula perasaan.” Tapi karena manusia memiliki unsur yang lebih tinggi, yaitu akal, maka ia mendapatkan gambaran lewat pikiran dan nalar.
Sedangkan pada binatang, gambaran pada dasarnya ada secara alami. Selanjutnya, bentuk-bentuk yang dicerap oleh binatang terbatas, dan kadang-kadang, kalau bentuk-bentuk tersebut dicerap oleh manusia, maka bentuk-bentuk itu menjadi gambaran-gambarang universal. Mereka yang beranggapan bahwa hewan memiliki nalar, megnacaukan gambaran=gambaran universal dengan konsep-konsep universal.
Bentuk-bentuk yang dicerap oleh manusia tak terbatas, dalam arti bahwa hal-hal tertentu yang mereka tunjukan tidak terbatas. Gambaran-gambaran, sepanjang merupakan sebab pendoorong gerakan, mempengaruhi tindakan manusia dengan konsep-konsep lewat kerja sama mereka.
Pengetahuan manusia tidak boleh dikacaukan dengan pengetahuan Tuhan, sebab “manusia mencerap individu lewat indera dan mencerap hal-hal yang maujud lewat akalnya.
Sebab, persepsi manusia berubah dikarenakan berubahnya hal-hal yang dicerapnya, dan kemaujudan persepsi mengisyaratkan kemajemukan obyek.” Mustahil bila pengetahuan Tuhan sama dengan pengetahuan kita, sebab “pengetahuan kita merupakan akibat dari segala yang maujud, sedangkan pengetahuan Tuhan merupakan sebab dari adanya segala suatu itu.”
Kedua macam pengetahuan itu sama sekali berbeda satu samna lain dan saling bertentangan. Pengetahuan Tuhan itu kekal, sedang pengetahuan manusia itu sementara. “Pengetahuan Tuhanlah yang menyebabkan segala kemaujudan, dan bukanlah segala kemaujudan itu yang menyebabkan Dia tahu.”
Sejauh ini, telah kita lihat bahwa ada pengetahuan yang bersifat individu, dan ada juga yang bersifat universal. Yang pertama merupakan hasil dari perasaan dan imajinasi, sedang yang kedua merupakan hasil dari akal. Tindakan akal ialah mencerap gagasan, konsep yang bersifat universal dan yang hakiki.
Akal memiliki tiga kerja dasar: Mengabstraksi, mengkombinasikan dan menilai. Kalau kita mencerap suatu gagasan yang bersifat universal, kita mengabstraksikannya dari materi. Hal ini lebih jelas pada sesuatu yang dilepaskan dari jauh dari materi, seperti titik dan garis.
Akal tidak hanya mengabstraksikan pengertian-pengertian dari materi, tapi ia juga mengkombinasikan pengertian-pengertian tersebut dan menilai sebagian dari mereka bila sebagian yang lain dinyatakan sebagai benar, bisa berarti benar atau salah. Yang pertama dari kerja-kerja ini disebut pembenaran (intelligere dalam bahasa Ltin) dan yang kedua disebut pembenaran (credulitas).
Jadi kita memiliki tiga kerja berurutan. Pertama kita mendapatkan di dalam akal satu gagasan atau maksud tunggal yang sepenuhnya terabstraksi dari materi. Dan kerja inilah yang disebut sebagai abstraksi.
Kedua, dengan mengkombinasikan dua maksud atau lebih, kita mendapatkan konsep seperti konsep tentang manusia yagn terdiri atas hewaniah dan rasionalitas, genus dan differentia.d an ini membentuk esensi sesuatu. Dengan begitu maka suatu esensi yang lengkap adalah membentuk pula definisinya.
Ketiga, karena konsep tidak benar atau tidak salah, bila dibenarkan atau disangkal dalam suatu proposisi, maka kita mempunya suatu penilaian.
Akal itu bersifat teoritis dan praktis. Akal praktis lazim dimiliki oleh semua orang. Unsur ini merpakan asal daya cipta manusia, yang diperlukan dan bermanfaat bagi kemaujudannya. Hal-hal yang dapat diakali secara praktis dihasilkan lewat pengalaman yang didasarkan pada perasaan dan imajinasi. Konsekuensinya, akal praktis dapat rusak karena kemaujudan hal-hal yang terakal bergantung kepada perasaan dan imajinasi. Maka mereka berkembang bila persepsi dan gambaran berkembang, dan rusak bila hal-hal ini rusak.
Lewat akal praktisnya manusia mencinta dan membenci, hidup bermasyarakat dan berteman. Kebajikan adalah hasil akal praktis. Kemaujudan kebajikan tak lebih dari kemaujudan gambaran, yang dari situ kita menuju tindakan-tindakan yang baik secara benar seperti, berani pada tempat dan waktunya serta sesuai dengan ukuran yang benar.
Dua pertanyaan utama tentang akal teoritis harus dijawab, yang pertama yakni kekekalannya dan yang kedua yakni hubungannnya dengan akal agen. Pertanyaan pertama dapat diajukan dengan cara lain.
Apakah cerapan akal yang bersifat teoritis selalu aktual, ataukah mereka maujud secara potensi, lalu secara aktual, sehingga dengan demikian mereka bersifat bendawi? Ini membuat ibn Rusyd berfikir lagi tentang bentuk-bentuk bendawi, dan bentuk-bentuk elementer (yaitu bentuk-bentuk empat unsur) sampai gambaran yang dihadilkan oleh jiwa imajinatif.
Mereka semua memiliki empat hal secara umum.
(1) Kemaujudan mereka dapat berubah.
(2) Mereka beragam dan banyak sesuai dengan keberagaman dan ke-banyak-kan obyek mereka. (Dari dua sifat ini berarti mereka bersifat sementara).
(3) Mereka berkomposisi dari sesuatu yang bersifat material dan sesuatu yang bersifat formal.
(4) Yang tercerap berbeda dengan yang maujud, sebab bentuk yang tercerap itu tunggal sepanjang ia terpahami, dan majemuk sepanjang itu menyangkut individualitasnya.
Bentuk-benetuk yang terpahami pada diri manusia tidak sama dengan bentuk-bentuk material lain.
(1) Kemaujudan intelektual mereka adalah satu dan serupa dengan eksistensi obyektif mereka yang dapat ditunjukkan.
(2) Persepsi mereka tak terbatas karena bentuk-bentuk yang diabstraksikan tidak memiliki kemajemukan individual.
(3) Akal adalah yang terakali, sedang persepsi adalah yang tercerap.
(4) Akal tumbuh bersama usia, sedangkan semua indera lainnya menjadi lemah, karena akal bekerja tanpa organ.
Kerja pengakalan itu sebagai berikut: ada akal atau orang yang mencerap, dan ada hal-hal yang terakali yang merupakan obyek pengakalan dan tercerap oleh akal.
Hal-hal yang terakali itu harus maujud kalau tidak, maka akal tidak bisa mencerap apa pun, sebab akal bisa berkaitan dengan yang maujud, bukan dengan yang tidak maujud. Dan, pengetahuan kita merupakan akibat dari hal-hal yang maujud. Nah, hal-hal yang terakali ini, yaitu yang bersifat universal, ada di dalam jiwa seperti yang dikemukakan oleh Plato, atau ada di dalam realitas di luar jiwa.
Ibn Rusyd, mengikuti pendapat Aristoteles, menolak doktrin idialisme. Akibatnya, yang bersifat universal maujud secara realitas dan kemaujudan mereka terikat pada hal-hal tertentu yang terdiri atas materi dan bentuk. Melalui pengabstraksian, akal menelanjangi bentuk-bentuk materi.
Dengan begitu maka hal-hal yang terakali sebagian material dan sebagian lagi nonmaterial. Mereka bersifat material sepanjang bertumpa pada gambaran-gambaran yang pada gilirannya bertumpu pada hal-hal tertentu.
Akal material tidak boleh ditafsirkan sebagai bersifat jasmaniah, tapi sebagai suatu kemungkinan semata, yaitu kesiapan menerima hal-hal yang terakali. Yang membawa akal yang mungkin dari potensi menuju aktualitas ialah akal agen yang lebih tinggi dan lebih mulia dibandingkan akal yang mungkin. Ia sendiri maujud, selalu aktuan, entah tercerap oleh kita atau tidak. Akal agen ini, dari segala sudur pandang, satu dan serupa dengan hal-hal yang terakali.
Manusia dapat meraih akal agen dalam kehidupannya kalau dia tumbuh dewasa. Karena akal tidak lain dari hal-hal yang terakali maka tindakan akal dalam mendapatkan hal-hal yang terakali disebut “penyatuan” (al-ittihad) atau “komuni” (al-ittishal).
Penyatuan ini tidak sama dengan istilah kaum Sufi, sebab akal agen tidak suci dan tidak mencerahi jiwa kita sebagaimana dinyatakan oleh sebagian kaun Neo-Platonis. Penyatuan merupakan suatu kerja rasional yang harus dijelaskan dengan menggunakan dasar-dasar epitemologi, dan didasarkan pada pemerolehan bentuk-bentuk yang bersifat universal yang dilakukan oleh akal yang mungkin. Bentuk-bentuk universal ini tidak memiliki kemaujudan yang aktual yang terpisah dari hal-hal yang terasa.
Ketika karya-karya ibn Rusyd diterjemahkan ke dalam bahasa Latin, sebagian ajaran-ajarannya diterima dan sebagian lagi ditolak. Gerakan yang terpengaruh olehnya dinamakan gerakan Latin Averroism. Hal ini berarti filsfat Aristotteles menurut penafsiran ibn Rursyd, pembedanya antara filsafat dan teologi, rasionalme empirisnya, dan terutama teorinya mengenai akal.
Secara keseluruhan, Latin Aveeroism menganggap ibn Rusyd sebagai orang yang setia kepada karya-karya Aristoteles dan kebenaran. Sementara itu, muncul banyak ahli teologi yang menentang ajaran-ajarannya.
Sebuah contoh tentang penentangan ini terdapat dalam risalah Albert Yang Agung, Tentang Kesatuan Akal terhadap ibn Rusyd. Siger dan Brabant terutama mengikuti psikologi ibn Rusyd, sebuah rangkuman dari karya Siger: “Perihal akal,” membuktikan bahwa dia meminjam gagasan dari sebuah terjemahan Kitab al-Nafs. Gerakan ibn Rusyd berlangsung sampai abad ke-9 H/ke 15 M dan menghadapi banyak reaksi, yang membuktikan pengaruh yang besar dari filosof Cordova ini.
No comments