Filsafat Muslim : Ibnu Rusyd (JALAN MENUJU TUHAN)
JALAN MENUJU TUHAN
Setelah menjelaskan bahwa ajaran-ajaran agama memiliki makna tersurat dan tersirat, yang simbolis bagi orang awam dan yang tersembunyi bagi kaum terpelajar, ibn Rusyd berusaha dalam bukunya:
Al-Kasyf ‘an Manahij al-Adillah, menemukan jalan menuju Tuhan, yaitu metode-metode yang ada di dalam Al-Quran untuk mencapai kepercayaan akan eksistensi Tuhan dan pengetahuan tentang sifat-sifat-Nya, menurut makna yang tersurat itu, sebab pengetahuan pertama yang boleh dimiliki oleh setiap orang yang berakal ialah pengetahuan tentang hal-hal yang akan membuatnya yakin akan eksistensi Sang Pencipta.
Karena buku itu ditulis dalam bentuk teologis, maka ibn Rusyd mulai meninjau metode-metode berbagai madzab Islam, yang digolongkannya menjadi lima golongan besar: Golongan Asy’ariah, Mu’tazilah, Batiniah, Hasyawiah dan Sufi. Wajarlah kalau dia paling sering mengemukakan orang-orang sejamannya, yaitu golongan Asy’ariah, dalam bahasannya, tapi aneh juga bahwa dia tidak pernah membicarakan golongan Batiniah.
Golongan Mu’tazillah dibahas secara ringkas, tapi tidak secara terpisah melalui tulisan-tulisan mereka yang, seperti dinyatakan di kemudian hari, belum mencapai maghrib.
Golongan Hasyawiah berpendapat bahwa jalan menuju Tuhan yaitu mendengarkan lewat pengajaran secara lisan al-sam dan bukan lewat nalar.
Maksud mereka ialah bahwa iman kepada Tuhan diterima dari Nabi dan bahwa nalar tidak ada kaitannya dengan hal itu. Tapi ini jelas bertentangan dengan apa yang dikatakan di dalam Kitab Suci bahwa manusia diperintahkan untuk beriman melalui bukti-bukti rasional.
Golongan Asy’ariah percaya bahwa jalan menuju Tuhan yakni lewat akal, tapi metode mereka berbeda dengan jalan agama, yang oleh Al-Quran manusia diperintahkan untuk mengikutinya. Mereka memaparkan dasar-dasar pijakan mereka, seperti : Dunia itu tidak kekal, benda benda itu terdiri atas atom-atom, atom-atom itu tercipta, perantara adanya dunia itu tidak bersifat sementara, juga tidak kekal. Tapi argumentasi mereka tidak dapat dimengerti oleh orang awam, tidak kukuh dan tidak meyakinkan.
Cara lain golongan Asy’ariah yaitu yang diberikan oleh abu al-Ma’ali. Cara itu didasarkan pada dua premise, bahwa dunia ini mungkin (ja’iz) dan bahwa yang mungkin itu bersifat sementara. Tapi cara ini menghapus kebijakan penciptaan makhluk-makhluk. Cara yang ditempuh ibn Sina dalambeberapa segi sama dengan cara abu Ma’ali.
Orang-orang sufi mengikuti cara mistis. Mereka mengatakan bahwa pengetahuan tentang Tuhan masuk ke dalam jiwa jauh dari atas sana, bila kita sudah meninggalkan semua keinginan duniawi. Tapi cara ini tidak selalu bisa dilaksanakan oleh semua orang, pun cara ini menghapus spekulasi, yang diperintahkan dalam banyak ayat Al-Quran.
Lalu jalan apa yang paling cocok yang harus ditempuh oleh semua orang untuk mencapai Tuhan? Dua cara disebutkan dalam Al-Quran, yang oleh ibn Rusyd disebut sebagai pembuktian tentang adanya Tuhan dan pembuktian tentang penciptaan. Yang pertama bersifat teologis dan yang kedua bersifat kosmologis, keduanya mulai dari manusia dan makhluk-makhluk lain, dan bukan dari alam raya sebagai suatu keseluruhan.
Pembuktian tentang adanya Tuhan bertumpu pada dua prinsip: pertama, bahwa semua kemaujudan sesuai dengan kemaujudan manusia, dan kedua, bahwa kesesuaian ini dikarenakan oleh perantara yang berkehendak berbuat begitu, sebab kesesuaian tidak terjadi dengan sendirinya. Segala suatu diciptakan untuk kepentingan manusia, bintang gemintang bersinar di malam hari agar bisa menjadi penuntun bagi manusia, anggota-anggota tubuhnya sesuai dengan kehidupan dan eksistensinya. Seluruh teori nilai dapat dikembangkan dari pandangan ini.
Pembuktian tentang penciptaan itu mencakup binatang, tumbuh-tumbuhan dan angkasa. Pembuktian ini juga didasarkan pada dua prinsip: bahwa semua makhluk tercipta dan bahwa segala yang tercipta itu pasti mempunyai Pencipta. Contoh-contoh di atas berkenaan dengan makhluk-makhluk hidup. Kalau kita melihat benda-benda mati yang menjadi bernyawa, maka akan tahulah kita bahwa nyawa itu, tentu punya pencipta, yaitu Tuhan. Angkasa pun diperintahkan untuk bergerak dan menjaga dunia sekitarnya.
Tuhan berfirman dalam Al-Quran:
“Sesungguhnya, yang selain Tuhan tidak dapat menciptakan seekor serangga pun meski mereka semua bersatu.”
Mereka yang ingin mengenal Tuhan harus mengetahui hakikat dan manfaat segala suatu agar bisa mencapai pengetahuan yang sebenarnya tentang penciptaan.
Kedua cara itu lazim dipakai oleh golongan terpelajar dan awam. Perbedaan pengetahuan mereka terletak pada rinciannya. Orang awam cukup puas dengan hanya pengetahuan inderawi, yang merupakan langkah pertama menuju ilmu. Golongan terpelajar bisa yakin hanya melalui pembuktian.
Makna keesaan Tuhan tercermin pada prinsip Al-Quran: “Tiada Tuhan selain DIA.” Sangkalan terhadap adanya tuhan-tuhan lain di sini dianggap sebagai makna tambahan penegasan tentang keesaan Tuhan. Apa yang akan terjadi kalau Tuhan lebih dari satu? Dunia akan hancur: Satu Tuhan akan lebih berkuasa atas yang lain, atau tuhan-tuhan yang lain akan berupaya menggulingkan kekuasaan tuhan itu.
Tuhan disifati dengan tujuh sifat utama: tahu, hidup, kuasa, berkehendak, mendengar, melihat dan berfirman. Semua sifat itu merupakan sifat manusia sempurna. Ada tiga sikap yang menyangkut hubungan antara zat Tuhan dan sifat-Nya. Yang pertama yaitu sangkalan terhadap adanya sifat-sifat itu. Ini merupakan sikap kaum Mu’tazilah. Yang kedua yaitu penegasan tentang kesempurnaan sifat-sifat itu. Yang ketiga yaitu anggapan bahwa sifat-sifat itu tinggi dan berada di luar jangkauan pengetahuan manusia.
Tapi, Al-Quran menandaskan sifat-sifat itu dan menyatakan bahwa “tidak ada yang menyamai Dia.” Yang berarti bahwa Dia mendengar, melihat dan berfirman dalam arti lahiriah. Orang yang menggunakan cara demonstratif tidak boleh memaparkan secara terinci penafsiran mereka kepada orang awam. Baik ajaran Mu’tazilah maupun ajaran Asy’ariah tidak cukup kuat.
Ibn Rusyd mengecam cara pemecahan masalah mereka dalam bukunya al-Manahij dan dalam Thahafut. Dia beranggapan bahwa mengenai sifat-sifat itu, tanpa membuat penegasan ataupun sangkalan, orang harus menerima makna lahiriah yang tersurat di dalam Al-Quran. Sedangkan penafsiran tentang hal itu, terus bersifat esoteris.
Tindakan-tindakan Tuhan bisa diringkaskan menjadi lima tindakan utama: mencipta, mengutus nabi-nabi, menetapkan takdir, membangkitkan kembali dan mengadili. Semua itu merupakan tanda dari hubungan antara Tuhan, dunia dan manusia.
Penciptaan merupakan tindakan Tuhan. Dia menciptakan dunia secara terencana, bukan secara kebetulan. Dunia diatur dengan baik dan berada dalam keteraturan yang sempurna. Hal ini membuktikan eksistensi Sang Pencipta yang bijak. Sebab akibat merupakan syarat. Seluruh hujjah ibn Rusyd menyangkut pembuktian bahwa tiada sesuatu pun muncul tanpa sebab, dan bahwa sebab-sebab itu, banyak jumlahnya dan bersumber pada satu Sebab Utama.
Dia berkata: “Orang yang, dalam hal-hal artifisial, menyangkal atau tidak dapat memahami hasil dari sebab, tentu tidak memiliki pengetahuan tentang ciptaan atau pencipta begitu pula, orang yang menyangkal bahwa eksistensi di dunia ini bertumpu pada efek-efek sebab, dia tentu akan menyangkal adanya Sang Pencipta yang bijak.
Bukti pengutusan nabi-nabi itu berdasarkan dua prinsip utama yang termaktub di dalam Al-Quran. Yang pertama manusia-manusia semacam itu adalah manusia-manusia yang menjelaskan hukum-hukum, lewat wahyu Tuhan, bukan lewat belajar. Tugas seorang Nabi yaitu menjelaskan hukum-hukum, yang jika dipatuhi akan membuat orang yang patuh itu senantiasa bahagia. Yang kedua, orang yang mampu melaksanakan tugas semacam itu adalah nabi. Sebagaimana tugas seorang dokter yaitu menyembuhkan tubuh, dan orang yang menyembuhkan itu ialah dokter.
Para ahli teolog berpendapat bahwa keimanan kita kepada kebenaran para nabi dikarenakan oleh keimanan kepada tata-tindak mukjizat mereka yang adialami.
Tapi Al-Quran tidak menerima cara ini yang lazim dianut oleh agama-agama sebelumnya. Ketika orang-orang berkata kepada Muhammad bahwa mereka tidak mau mempercayainya kecuali bila beliau bisa membuat sebuah mata air di tanah tandus, beliau menjawab lewat wahyu Tuhan: “Aku hanya seorang manuisa, seorang utusan.”.
Satu-satunya mukjizat Islami yaitu Al-Quran, yang berisi hukum-hukum yang diperlukan bagi kesejahteraan manusia.
Karena itu, dalam Islam, tak ada yang bersifat adialami, sebab segalanya berjalan di atas hukum-hukum alam yang berasal dari adanya hubungan erat antara sebab dan akibat.
Takdir merupakan suatu masalah yang sangat pelik, yang membuat para ahli pikir Muslim terombang-ambing di antara fatalisme mutlak dan kehendak bebas mutlak. Fatalisme menghapus kebebasan manusia, dan karena itu menghapus pula tanggung jawab manusia. Golongan Mu’tazilah membenarkan pendapat tentang kehendak bebas ini yang menjadi dasar tanggung jawab manusia atas perbuatan-perbuatan baik dan buruknya.
Jika pendapat ini dibenarkan, maka berarti Tuhan tidak punya sangkut-paut dengan perbuatan manusia, karena manusia menjadi pencipta perbuatan-perbuatan sendiri. Dan, bila demikian, berarti ada pencipta-pencipta lain selain Sang Pencipta.
Golongan Asy’Ariah bersikap menengah dengan mengatakan bahwa nasib manuisa telah ditentukan, walau begitu dia juga diberi kemampuan untuk berbuat. Inilah ajaran termasyhur mereka tentang kemampuan (al-Kasb). Tapi cara pemecahan masalah seperti ini, dalam pandangan ibn Rusyd, merupakan suatu pertentangan diri. Ajaran mereka mengarah pada fatalisme.
Manusia tidak diarahkan kepada fatalisme atau kehendak bebas. Tapi dia ditentukan. Ketentuan merupakan hasil aksi sesuai dengan sebab-sebab aksi itu. Sebeb-sebab bisa bersifat eksternal atau pun internal. Aksi-aksi kita ditimbulkan oleh kehendak kita dan juga kesesuaian dari kejadian-kejadian eksternal.
Kehendak manusia ditentukan oleh dorongan luar yang tunduk kepada keteraturan serta keselarasan sesuai dengan kehendak universal Tuhan. Aksi-aksi kita bukan hanya ditentukan oleh sebab-sebab dari luar, tapi juga oleh sebab-sebab eksternal dan internal itulah disebut takdir. Pengetahuan Tuhan tentang sebab-sebab ini dan akibat dari sebab-sebab itu merupakan bukti kemaujudan sebab-akibat.
Tuhan itu adil, dan tak pernah tidak adil terhadap manusia, sebagaimana dinyatakan di dalam Al-Quran. Sifat manusia itu tidak sepenuhnya baik, meski yang baik itu yang dominan. Sebagian besar manusia itu baik. Tuhan telah menciptakan kebaikan secara hakiki dan mencitakan keburukan secara tidak hakiki bagi yang baik. Baik dan buruk itu serupa dengan api yang mendatangkan manfaat dalam banyak hal, tapi juga bisa mendatangkan bahaya. Teori ibn Rusyd ini menopang sikap optimis yang merajai dunia.
Semua agama sama sepakat mengenai realitas kebangkitan. Perbedaannya hanyalah terletak pada masalah apakah realitas kebangkitan itu berbentuk ruhani atau jasmani. Kebangkitan ruhani merupakan ketidak matian ruh setelah terpisah dari tubuh. Keyakinan akan kebangkitan jasmani lebih sesuai bagi pikiran awam yang tidak memahami kekekalan ruh.
Gambar : Link
No comments