TATA CARA WUDHU
Shalat Tidak Sah Tanpa Berwudhu
Sykron
Penulis: Muhammad Abduh Tuasikal
Baca Selengkapnya : https://rumaysho.com/952-meluruskan-tata-cara-wudhu-sesuai-petunjuk-nabi.html
Dari Ibnu ‘Umar Radhiyallahu ‘anhuma-, beliau berkata, “Saya mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
لاَ تُقْبَلُ صَلاَةٌ بِغَيْرِ طُهُورٍ وَلاَ صَدَقَةٌ مِنْ غُلُولٍ
“Tidak ada shalat kecuali dengan thoharoh. Tidak ada sedekah dari hasil pengkhianatan.” HR. Muslim no. 224
An Nawawi –rahimahullah- mengatakan, “Hadits ini adalah nash**) mengenai wajibnya thoharoh untuk shalat. Kaum muslimin telah bersepakat bahwa thoharoh merupakan syarat sah shalat.” Syarh Muslim, An Nawawi, 3/102, Dar Ihya’ At Turots Al ‘Arobi, Beirut.
**) Nash adalah dalil tegas yang tidak mengandung kemungkinan makna kecuali itu saja.
Abu Hurairah mengatakan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
لاَ تُقْبَلُ صَلاَةُ أَحَدِكُمْ إِذَا أَحْدَثَ حَتَّى يَتَوَضَّأَ
“Shalat salah seorang di antara kalian tidak akan diterima -ketika masih berhadats- sampai dia berwudhu.“ HR. Bukhari no. 6954 dan Muslim no. 225.
Tata Cara Wudhu
Mengenai tata cara berwudhu diterangkan dalam hadits berikut:
حُمْرَانَ
مَوْلَى عُثْمَانَ أَخْبَرَهُ أَنَّ عُثْمَانَ بْنَ عَفَّانَ – رضى الله
عنه – دَعَا بِوَضُوءٍ فَتَوَضَّأَ فَغَسَلَ كَفَّيْهِ ثَلاَثَ مَرَّاتٍ
ثُمَّ مَضْمَضَ وَاسْتَنْثَرَ ثُمَّ غَسَلَ وَجْهَهُ ثَلاَثَ مَرَّاتٍ
ثُمَّ غَسَلَ يَدَهُ الْيُمْنَى إِلَى الْمِرْفَقِ ثَلاَثَ مَرَّاتٍ ثُمَّ
غَسَلَ يَدَهُ الْيُسْرَى مِثْلَ ذَلِكَ ثُمَّ مَسَحَ رَأْسَهُ ثُمَّ
غَسَلَ رِجْلَهُ الْيُمْنَى إِلَى الْكَعْبَيْنِ ثَلاَثَ مَرَّاتٍ ثُمَّ
غَسَلَ الْيُسْرَى مِثْلَ ذَلِكَ ثُمَّ قَالَ رَأَيْتُ رَسُولَ اللَّهِ
-صلى الله عليه وسلم- تَوَضَّأَ نَحْوَ وُضُوئِى هَذَا ثُمَّ قَالَ رَسُولُ
اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- « مَنْ تَوَضَّأَ نَحْوَ وُضُوئِى هَذَا
ثُمَّ قَامَ فَرَكَعَ رَكْعَتَيْنِ لاَ يُحَدِّثُ فِيهِمَا نَفْسَهُ غُفِرَ
لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ ». قَالَ ابْنُ شِهَابٍ وَكَانَ
عُلَمَاؤُنَا يَقُولُونَ هَذَا الْوُضُوءُ أَسْبَغُ مَا يَتَوَضَّأُ بِهِ
أَحَدٌ لِلصَّلاَةِ.
Humran
pembantu Utsman menceritakan bahwa Utsman bin Affan radhiallahu ‘anhu
pernah meminta air untuk wudhu kemudian dia ingin berwudhu. Beliau
membasuh kedua telapak tangannya 3 kali, kemudian berkumur-kumur
diiringi memasukkan air ke hidung, kemudian membasuh mukanya 3 kali,
kemudian membasuh tangan kanan sampai ke siku tiga kali, kemudian
mencuci tangan yang kiri seperti itu juga, kemudian mengusap kepala,
kemudian membasuh kaki kanan sampai mata kaki tiga kali, kemudian kaki
yang kiri seperti itu juga. Kemudian Utsman berkata, “Aku melihat
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah berwudhu seperti wudhuku
ini, kemudian beliau bersabda, “Barangsiapa berwudhu seperti wudhuku
ini kemudian dia shalat dua rakaat dengan khusyuk (tidak memikirkan
urusan dunia dan yang tidak punya kaitan dengan shalat**),
maka Allah akan mengampuni dosa-dosanya yang telah lalu”. Ibnu Syihab
berkata, “Ulama kita mengatakan bahwa wudhu seperti ini adalah contoh
wudhu yang paling sempurna yang dilakukan seorang hamba untuk shalat”. HR. Bukhari dan Muslim.
**)
Lihat maksud hadits “laa yuhadditsu bihi nafsuhu” Syarh An Nawawi ‘ala
Muslim, 3/108 dan Syarh Sunan Abi Daud, Syaikh Abdul Muhsin Al Abbad Al
Badr, 1/371, Asy Syamilah
Dari hadits ini dan hadits lainnya, kita dapat meringkas tata cara wudhu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagai berikut.
Berniat –dalam hati- untuk menghilangkan hadats.
Membaca
basmalah: ‘bismillah’. Membasuh kedua telapak tangan sebanyak tiga
kali. Mengambil air dengan tangan kanan, lalu dimasukkan dalam mulut
(berkumur-kumur atau madmadho) dan dimasukkan dalam hidung (istinsyaq)
sekaligus –melalui satu cidukan-. Kemudian air tersebut dikeluarkan
(istintsar) dengan tangan kiri. Hal ini dilakukan sebanyak tiga kali.
Membasuh seluruh wajah sebanyak tiga kali dan menyela-nyela jenggot.
Membasuh tangan –kanan kemudian kiri- hingga siku dan sambil
menyela-nyela jari-jemari. Membasuh kepala 1 kali dan termasuk di
dalamnya telinga. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Kedua telinga termasuk bagian dari kepala” (HR Ibnu Majah, disahihkan oleh Al Albani).
Tatacara
membasuh kepala ini adalah sebagai berikut, kedua telapak tangan
dibasahi dengan air. Kemudian kepala bagian depan dibasahi lalu menarik
tangan hingga kepala bagian belakang, kemudian menarik tangan kembali
hingga kepala bagian depan. Setelah itu langsung dilanjutkan dengan
memasukkan jari telunjuk ke lubang telinga, sedangkan ibu jari menggosok
telinga bagian luar. Membasuh kaki 3 kali hingga ke mata kaki dengan
mendahulukan kaki kanan sambil membersihkan sela-sela jemari kaki.
Berikut catatan penting yang perlu diperhatikan dalam tata cara wudhu di atas.
Niat Cukup dalam Hati
Yang dimaksud niat adalah al qosd (keinginan) dan al irodah (kehendak).**) Sedangkan yang namanya keinginan dan kehendak pastilah dalam hati, sehingga niat pun letaknya dalam hati.
**) Lihat Majmu’ Al Fatawa, Ibnu Taimiyah, 22/242, Darul Wafa’, cetakan ketiga, 1426 H.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah –rahimahullah– mengatakan, “Letak
niat adalah di hati bukan di lisan. Hal ini berdasarkan kesepakatan
para ulama kaum muslimin dalam segala macam ibadah termasuk shalat,
thoharoh, zakat, haji, puasa, memerdekakan budak, jihad dan lainnya.”**
** Al Fatawa Al Kubro, Ibnu Taimiyah, 2/87, Darul Ma’rifah Beirut, cetakan pertama, 1386.
Ibnul Qayim –rahimahullah– mengatakan, “Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam –di awal wudhu– tidak pernah mengucapkan
“nawaitu rof’al hadatsi (aku berniat untuk menghilangkan hadats …)”.
Beliau pun tidak menganjurkannya. Begitu pula tidak ada seorang sahabat
pun yang mengajarkannya. Tidak pula terdapat satu riwayat –baik dengan
sanad yang shahih maupun dho’if (lemah)- yang menyebutkan bahwa beliau
mengucapkan bacaan tadi.”**
** Zaadul
Ma’ad fii Hadyi Khoiril ‘Ibad, Ibnu Qayyim Al Jauziyah, 1/196, Tahqiq:
Syu’aib Al Arnauth dan ‘Abudl Qodir Al Arnauth, Muassasah Ar Risalah,
cetakan ke-17, tahun 1415 H
Berkumur-kumur dan Memasukkan Air dalam Hidung Dilakukan Sekaligus Melalui Satu Cidukan Tangan
Ibnul Qayyim menyebutkan,
“Ketika
berkumur-kumur dan memasukkan air dalam hidung (istinsyaq), terkadang
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menggunakan satu cidukan tangan,
terkadang dengan dua kali cidukan dan terkadang pula dengan tiga kali
cidukan. Namun beliau menyambungkan (tidak memisah) antara kumur-kumur
dan istinsyaq. Beliau menggunakan separuh cidukan tangan untuk mulut dan
separuhnya lagi untuk hidung. Ketika suatu saat beliau berkumur-kumur
dan istinsyaq dengan satu cidukan maka kemungkinan cuma dilakukan
seperti ini yaitu kumur-kumur dan istinsyaq disambung (bukan dipisah).
Adapun
ketika beliau berkumur-kumur dan istinsyaq dengan dua atau tiga
cidukan, maka di sini baru kemungkinan berkumur-kumur dan beristinsyaq
bisa dipisah. Akan tetapi, yang Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
contohkan adalah memisahkan antara berkumur-kumur dan istinsyaq.
Sebagaimana disebutkan dalam shahihain*)
dari ‘Abdullah bin Zaid bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
tamadh-madho (berkumur-kumur) dan istinsyaq (memasukkan air dalam
hidung) melalui air satu telapak tangan dan seperti ini dilakukan tiga
kali. Dalam lafazh yang lain disebutkan bahwa tamadh-madho
(berkumur-kumur) dan istinsyaq (memasukkan air dalam hidung) melalui
tiga kali cidukan. Inilah riwayat yang lebih shahih dalam masalah
kumur-kumur dan istinsyaq (memasukkan air dalam hidung).
Tidak
ada satu hadits shahih pun yang menyatakan bahwa kumur-kumur dan
istinsyaq dipisah. Kecuali ada riwayat dari Tholhah bin Mushorrif dari
ayahnya dari kakeknya yang mengatakan bahwa dia melihat Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam memisah antara kumur-kumur dan istinsyaq**).
Dan riwayat tersebut hanyalah berasal dari Tholhah dari ayahnya, dari
kakeknya. Padahal kakekanya tidak dikenal sebagai seorang sahabat.”***)
*) Bukhari dan Muslim, sebagaimana dikatakan oleh pentahqiq Zaadul Ma’ad.
**)
Dikeluarkan oleh Abu Daud. Namun terdapat seorang periwayat yang dho’if
dan Mushorrif –ayah Tholhah- itu majhul. Lihat catatan kaki Zaadul
Ma’ad, hal. 192.
***) Zaadul Ma’ad, 1/192-193.
Membasuh Kepala Cukup Sekali
Ibnul Qayyim menjelaskan,
“Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa membasuh kepalanya seluruh dan
terkadang beliau membasuh ke depan kemudian ke belakang. Sehingga dari
sini sebagian orang mengatakan bahwa membasuh kepala itu dua kali. Akan
tetapi yang tepat adalah membasuh kepala cukup sekali (tanpa diulang).
Untuk anggota wudhu lain biasa diulang. Namun untuk kepala, cukup
dibasuh sekali. Inilah pendapat yang lebih tegas dan Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam tidak pernah berbeda dengan cara ini. Adapun hadits
yang membicarakan beliau membasuh kepala lebih dari sekali, terkadang
haditsnya shahih, namun tidak tegas. Seperti perkataan sahabat yang
menyatakan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berwudhu dengan
mengusap tiga kali tiga kali. Seperti pula perkataan bahwa Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam membasuh kepala dua kali. Terkadang pula
haditsnya tegas, namun tidak shahih. Seperti hadits Ibnu Al Bailamani
dari ayahnya dari ‘Umar bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
mengusap tangannya tiga kali dan membasuh kepala juga tiga kali. Namun
perlu diketahui bahwa Ibnu Al Bailamani dan ayahnya adalah periwayat
yang lemah.” *)
*) Zaadul Ma’ad, 1/193.
Kepala Sekaligus Diusap dengan Telinga
Telinga
hendaknya diusap berbarengan setelah kepala karena telinga adalah
bagian dari kepala. Sebagaimana Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
bersabda,
الأُذُنَانِ مِنَ الرَّأْسِ
“Dua telinga adalah bagian dari kepala.” HR. Abu Daud no. 134, At Tirmidzi no. 37, Ibnu Majah no. 443, dan Ahmad (5/264).
Hadits
ini adalah hadits yang lemah jika marfu’ (dianggap ucapan Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam). Akan tetapi hadits di atas dikatakan
oleh beberapa ulama salaf di antaranya adalah Ibnu ‘Umar. Lihat Shahih Fiqh Sunnah, Abu Malik, 1/118, Al Maktabah At Taufiqiyah.
Ash Shon’ani menjelaskan,
”Walaupun
sanad hadits ini dikritik, akan tetapi ada berbagai riwayat yang
menguatkan satu sama lain. Sebagai penguat hadits tersebut adalah hadits
yang mengatakan bahwa membasuh dua telinga adalah sekaligus dengan
kepala sebanyak sekali. Hadits yang menyebutkan seperti ini amatlah
banyak, ada dari ‘Ali, Ibnu ‘Abbas, Ar Robi’ dan ‘Utsman. Semua hadits
tersebut bersepakat bahwa membasuh kedua telinga sekaligus bersama
kepala dengan melalui satu cidukan air, sebagaimana hal ini adalah makna
zhohir (tekstual) dari kata marroh (yang artinya: sekali). Jika untuk
membasuh kedua telinga digunakan air yang baru, tentu tidak dikatakan,
“Membasuh kepala dan telinga sekali saja”. Jika ada yang memaksudkan
bahwa beliau tidaklah mengulangi membasuh kepala dan telinga, akan
tetapi yang dimaksudkan adalah mengambil air yang baru, maka ini
pemahaman yang jelas keliru. Adapun riwayat yang menyatakan bahwa air
yang digunakan untuk membasuh kedua telinga berbeda dengan kepala, itu
bisa dipahami kalau air yang ada di tangan ketika membasuh kepala sudah
kering, sehingga untuk membasuh telinga digunakan air yang baru.” Subulus Salam, Ash Shon’ani, 1/136-137, Mawqi’ Al Islam.
Seluruh Kepala Dibasuh, Bukan Hanya Ubun-Ubun Saja
Allah Ta’ala berfirman,
وَامْسَحُوا بِرُءُوسِكُمْ
“Dan basuhlah kepala kalian.” (QS. Al Maidah: 6)
Fungsi
huruf baa’ dalam ayat di atas adalah lil ilsoq artinya melekatkan dan
bukan li tab’idh (menyebutkan sebagian). Maknanya sama dengan membasuh
wajah ketika tayamum, sebagaimana dalam ayat,
فَامْسَحُوا بِوُجُوهِكُمْ
“Dan basuhlah wajah kalian.” (QS. Al Maidah: 6).
Dua
dalil di atas masih berada dalam konteks ayat yang sama. Mengusap wajah
pada tayamum bukan hanya sebagian (namun seluruhnya) sehingga yang
dimaksudkan dengan mengusap kepala adalah mengusap seluruh kepala.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah menjelaskan,
“Apabila
ayat yang membicarakan tentang tayamum tidak mengatakan bahwa mash
(membasuh) wajah hanya sebagian padahal tayamum adalah pengganti wudhu
dan tayamum jarang-jarang dilakukan, bagaimana bisa ayat wudhu yang
menjelaskan mash (membasuh) kepala cuma dikatakan sebagian saja yang
dibasuh padahal wudhu sendiri adalah hukum asal dalam berthoharoh dan
sering berulang-ulang dilakukan?! Tentu yang mengiyakan hal ini tidak
dikatakan oleh orang yang berakal.” Majmu’ Al Fatawa, 21/123
Begitu pula terdapat dalam hadits lain dijelaskan bahwa membasuh kepala adalah seluruhnya dan bukan sebagian. Dalilnya,
عَنْ
عَبْدِ اللَّهِ بْنِ زَيْدٍ قَالَ أَتَى رَسُولُ اللَّهِ – صلى الله عليه
وسلم – فَأَخْرَجْنَا لَهُ مَاءً فِى تَوْرٍ مِنْ صُفْرٍ فَتَوَضَّأَ ،
فَغَسَلَ وَجْهَهُ ثَلاَثًا وَيَدَيْهِ مَرَّتَيْنِ مَرَّتَيْنِ ، وَمَسَحَ
بِرَأْسِهِ فَأَقْبَلَ بِهِ وَأَدْبَرَ ، وَغَسَلَ رِجْلَيْهِ
Dari ‘Abdullah bin Zaid, ia berkata, “Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam datang, lalu kami mengeluarkan untuknya
air dalam bejana dari kuningan, kemudian akhirnya beliau berwudhu.
Beliau mengusap wajahnya tiga kali, mengusap tangannya dua kali dan
membasuh kepalanya, dia enarik ke depan kemudian ditarik ke belakang,
kemudian terakhir beliau mengusap kedua kakinya. HR. Bukhari no. 197.
Dalam riwayat lain dikatakan,
وَمَسَحَ رَأْسَهُ كُلَّهُ
“Beliau membasuh seluruh kepalanya.” HR. Ibnu Khuzaimah (1/81). Al A’zhomi mengatakan bahwa sanad hadits ini shahih
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah menjelaskan,
“Tidak
ada satu pun sahabat yang menceritakan tata cara wudhu Nabi yang
mengatakan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam hanya mencukupkan
dengan membasuh sebagian kepala saja.” *) Namun ketika Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam membasuh ubun-ubun, beliau juga sekaligus membasuh imamahnya. **)
*) Majmu’ Al Fatawa, 21/122.
**) Shahih Fiqh Sunnah, Abu Malik, 1/118, Al Maktabah At Taufiqiyah.
Sedangkan
untuk wanita muslimah tata cara membasuh kepala tidak dibedakan dengan
pria. Akan tetapi, boleh bagi wanita untuk membasuh khimarnya saja. Akan
tetapi, jika ia membasuh bagian depan kepalanya disertai dengan
khimarnya, maka itu lebih bagus agar terlepas dari perselisihan para
ulama. Wallahu a’lam.
Semoga bermanfaat.
Penulis: Muhammad Abduh Tuasikal
Baca Selengkapnya : https://rumaysho.com/952-meluruskan-tata-cara-wudhu-sesuai-petunjuk-nabi.html
No comments