Filsafat Muslim : Abu Nasr Al-Farabi (258H-339H)

Abu Nasr al-Farabi lahir pada tahun 258 H 870 M dan meninggal pada tahun 339 H/950 M. Sebagai pembangun agung sistem filsfat, ia telah membuktikan diri untuk berpikir dan merenung, menjauh dari kegiatan politik, gangguan dan keksiruhan masyarakat. Ia telah meninggalkan sejumlah risalah penting.
Di samping murid-murid yang belajar secara langsung, banyak pula orang yang mempelajari karya-karyanya sepeninggalnya, dan menjadi pengikutnya. Filsafatnya menjadi acuan pemikiran ilmiah bagi Barat dan Timur, lama sepeninggalnya.
Sejak dasa warsa terakhir abad ke-13 H/k319 M, telah dilakukan abanyak usaha untuk menulis biografinya, mengumpulkan karya-karya yang belum diterbitkan, dan menjelaskan berbagai hal yang masih samar di dalam karya filsafatnya.
Pada tahun 1370 H/1950 M, seribu tahun setelah meninggalnya, beberapa sarjana Turki menemukan beberapa karyanya yang masih berupa naskah dan memecahkan beberapa kesulitan yang berkaitan dengan pemikirannya. Kita tak dapat mengatakan bahwa seluruh kesulitan itu telah terpecahkan. Bahkan kita tidak dapat memastikan apakah mampu memecahkan semua kesulitan itu tanpa mengetahui lebih jauh kehidupan dan karya-karyanya.
Perpustakaan-perpustakaan umum dan pribadi masih menyimpan banyak naskah Islami menurut hemat kami, kinilah saatnya naskah-naskah itu dikeluarkan.
Pada bab ini, kami uraikan secara singkat kehidupan, karya dan filsafat al-Farabi, dengan merujuk secara khusus kepada mata rantai yang terputus, salah paham atau keberatan-keberatan terhadap doktrinnya.
Di samping murid-murid yang belajar secara langsung, banyak pula orang yang mempelajari karya-karyanya sepeninggalnya, dan menjadi pengikutnya. Filsafatnya menjadi acuan pemikiran ilmiah bagi Barat dan Timur, lama sepeninggalnya.
Sejak dasa warsa terakhir abad ke-13 H/k319 M, telah dilakukan abanyak usaha untuk menulis biografinya, mengumpulkan karya-karya yang belum diterbitkan, dan menjelaskan berbagai hal yang masih samar di dalam karya filsafatnya.
Pada tahun 1370 H/1950 M, seribu tahun setelah meninggalnya, beberapa sarjana Turki menemukan beberapa karyanya yang masih berupa naskah dan memecahkan beberapa kesulitan yang berkaitan dengan pemikirannya. Kita tak dapat mengatakan bahwa seluruh kesulitan itu telah terpecahkan. Bahkan kita tidak dapat memastikan apakah mampu memecahkan semua kesulitan itu tanpa mengetahui lebih jauh kehidupan dan karya-karyanya.
Perpustakaan-perpustakaan umum dan pribadi masih menyimpan banyak naskah Islami menurut hemat kami, kinilah saatnya naskah-naskah itu dikeluarkan.
Pada bab ini, kami uraikan secara singkat kehidupan, karya dan filsafat al-Farabi, dengan merujuk secara khusus kepada mata rantai yang terputus, salah paham atau keberatan-keberatan terhadap doktrinnya.
Baca juga : Filsafat Muslim Ibnu Sina (Pemikiran Jiwa)
Kehidupan Al-Farabi
Berbeda dengan kelaziman beberapa sarjan Muslim lainnya, al-Farabi tidak menulis riwayat hidupnya, dan tak seorang pun di antara para pengikutnya merekam kehidupannya, sebagaimana telah dilakukan al-Juzjani untuk gurunya, ibn Sina. Materi untuk itu dalam karya-karya ahli riwayat, sangat tidak memuaskan dan tidak memadai.
Biografi yang agak panjang termaktub dalam Wafayat al-A’yan-nya ibn Khalikan, tetapi banyak kelemahannya dan perlu diragukan keasliannya. Oleh karena itu, mengenai kehidupan al-Farabi, masih terdapat kesamaran dan beberapa masalah yang masih perlu diteliti dan dituntaskan.
Kehidupan al-Farabi dapat dibagi menjadi dua periode, yang pertama, bermula dari sejak lahir sampai ia berusia lima puluh tahun. Informasi yang kita miliki tentang periode ini ialah bahwa ia lahir di Wasij, sebuah dusun di dekat Farab, di Transoxiana, pada tahun 258 H/870 M.
Dengan informasi yang sangat tidak memadai ini, kita dapat mengetahui keluarganya, masa kanak-kanaknya, dan masa remajanya. Telah diyakini bahwa ia lahir sebagai orang Turki, ayahnya seorang Jendral, dan ia sendiri bekerja sebagai hakim untuk beberapa lama.
Pada awal abad ke 3 H/ 9 M, di Farab berlangsung gerakan kebudayaan dan pemikiran yang meluas bersama dengan pengenalan Islam, dan pada saat itu terkenal pula seorang ahli bahasa al-Jauhari, yang telah menulis buku al-Shihab, salah seorang yang sezaman dengan al-Farabi.
Pendidikan dasarnya ialah keagamaan dan bahasa: ia mempelajari Fiqh, Hadis dan tafsir al-Quran. Ia mempelajari bahasa Arab, bahasa Turki dan Parsi. Adalah meragukan apakah ia menguasai bahasa lain apa pun, dan apa yang telah dinyatakan oleh ibn Khalikan, bahwa al-Farabi menguasai tujuh puluh bahasa lebih mendekati sebagai dongeng daripada sejarah yang sebenarnya.
Dari penafsiran al-Farabi tentang kata safsathah (sophistry), tampak jelas bahwa al-Farabi tidak mengerti bahasa Yunani. Ia tidak mengabaikan manfaat yang dapat diperoleh dari studi-studi rasional yang berlangsung pada masa hidupnya, seperti matematika dan filsafat, meskipun tampaknya ia tidak berpaling kepada keduanya sampai kemudian.
Bertentangan dengan apa yang diduga orang, ia demikian tertarik dengan studi rasional, ia tidak puas dengan apa yang telah diperolehnya di kota kelahirannya. Terdorong oleh keinginan intelektualnya itu, maka ia meninggalkan rumahnya dan mengembara menuntut ilmu pengetahuan.
Periode ke dua kehidupan al-Farabi adalah periode usia tua dan kematangan penuh. Baghdad, sebagai pusat belajar yang terkemuka pada abad ke-4 H/10 M, merupakan tempat pertama yang dikunjunginya, di sana ia berjumpa dengan sarjana dari berbagai bidang, di antaranya para filosof dan penerjemah. Ia tertarik untuk mempelajari logika, dan di antara ahli-ahli logika terkenal di Baghdad, Abu Bisyr Matta ibn Yusnus-lah yang dipandang orang sebagai ahli logika paling terkemuka pada zamannya.
Untuk beberapa lama al-Farabi belajar logika kepada ibn Yunus. Ia mengungguli gurunya dan karena pencapaiannya yang gemilang di bidang ini, ia memperoleh sebutan “Guru Kedua”. Ahli logika lain ialah muridnya yang bernama Yahya ibn ‘Adi.
Al-Farabi mukim selama dua puluh tahun di Baghdad dan kemudian tertarik oleh pusat kebudyaan lain di Aleppo. Di sana, di tempat orang-orang brilian dan para sarjana, Istana Saif al-Daulah, berkumpul para penyair, ahli bahasa, filosof, dan sarjana-sarjana kenamaan lainnya.
Meski ada simpati kuat kearaban dari Istana tersebut, namun tidak ada rasa ke-ra-san atau prasangka yang dapat merusak suasana intelektual dan kultural, yang di dalamnya orang-orang Parsia, Turki dan Arab berdiskusi dan berdebat, sepakat atau berbeda pendapat tanpa mencari keuntungan pribadi dalam menuntut ilmu pengetahuan.
Baca : Karya-Karya Al Farabi
Di istana tersebut al-Farabi tinggal, dan merupakan orang pertama dan terkemuka sebagai sarjana dan pencari kebenaran. Kehidupan yang gemerlap dan kemegahan di istana itu tidak mempengaruhinya, dan dalam pikiran seorang sufi – ia membebani dirinya dengan tugas berat seorang sarjana dan pengajar ia menulis buku-buku dan artikel-artikel dalam suasana gemericik air sungai dan di bawah dedaunan pepohonan yang rindang.
Kecuali beberapa perjalanan singkatnya ke luar negeri, al-Farabi mukim di Syria hingga wafat pada tahun 339 H/950 M. Ibn Usaibi’ah menyebutnya bahwa al-Farabi mengunjungi Mesir menjelang akhir hayatnya.
Hal ini sangat mungkin, karena Mesir dan Syria mempunyai hubungan yang kuat di sepanjang rentangan sejarah yang cukup panjang, dan kehidupan kebudayaan Mesir pada masa Thuluniyyah dan Ikhsyidiyyah memang mempunyai pesona. Tetapi tersiarnya kabar tentang terbunuhnya al-Farabi oleh beberapa perampok dalam perjalanannya antara Damaskus – Asqalan sebagaimana dikutip al-Baihaqi adalah rekaan belaka.
Al-Farabi mencapai posisi yang sangat terpuji di Istana Saif al-Daulah, sampai-sampai sang Raja bersama para pengikut dekatnya mengantarkan jenazahnya ke pemakamannya sebagai penghormatan atas kematian seorang sarjana terkemuka.
Buku : History Of Muslim Philosphy
Suntingan : M.M Syarif M.A
Penerbit : Mizan
Tahun : Cetakan Ke VII 1994
Biografi yang agak panjang termaktub dalam Wafayat al-A’yan-nya ibn Khalikan, tetapi banyak kelemahannya dan perlu diragukan keasliannya. Oleh karena itu, mengenai kehidupan al-Farabi, masih terdapat kesamaran dan beberapa masalah yang masih perlu diteliti dan dituntaskan.
Kehidupan al-Farabi dapat dibagi menjadi dua periode, yang pertama, bermula dari sejak lahir sampai ia berusia lima puluh tahun. Informasi yang kita miliki tentang periode ini ialah bahwa ia lahir di Wasij, sebuah dusun di dekat Farab, di Transoxiana, pada tahun 258 H/870 M.
Dengan informasi yang sangat tidak memadai ini, kita dapat mengetahui keluarganya, masa kanak-kanaknya, dan masa remajanya. Telah diyakini bahwa ia lahir sebagai orang Turki, ayahnya seorang Jendral, dan ia sendiri bekerja sebagai hakim untuk beberapa lama.
Pada awal abad ke 3 H/ 9 M, di Farab berlangsung gerakan kebudayaan dan pemikiran yang meluas bersama dengan pengenalan Islam, dan pada saat itu terkenal pula seorang ahli bahasa al-Jauhari, yang telah menulis buku al-Shihab, salah seorang yang sezaman dengan al-Farabi.
Pendidikan dasarnya ialah keagamaan dan bahasa: ia mempelajari Fiqh, Hadis dan tafsir al-Quran. Ia mempelajari bahasa Arab, bahasa Turki dan Parsi. Adalah meragukan apakah ia menguasai bahasa lain apa pun, dan apa yang telah dinyatakan oleh ibn Khalikan, bahwa al-Farabi menguasai tujuh puluh bahasa lebih mendekati sebagai dongeng daripada sejarah yang sebenarnya.
Dari penafsiran al-Farabi tentang kata safsathah (sophistry), tampak jelas bahwa al-Farabi tidak mengerti bahasa Yunani. Ia tidak mengabaikan manfaat yang dapat diperoleh dari studi-studi rasional yang berlangsung pada masa hidupnya, seperti matematika dan filsafat, meskipun tampaknya ia tidak berpaling kepada keduanya sampai kemudian.
Bertentangan dengan apa yang diduga orang, ia demikian tertarik dengan studi rasional, ia tidak puas dengan apa yang telah diperolehnya di kota kelahirannya. Terdorong oleh keinginan intelektualnya itu, maka ia meninggalkan rumahnya dan mengembara menuntut ilmu pengetahuan.
Periode ke dua kehidupan al-Farabi adalah periode usia tua dan kematangan penuh. Baghdad, sebagai pusat belajar yang terkemuka pada abad ke-4 H/10 M, merupakan tempat pertama yang dikunjunginya, di sana ia berjumpa dengan sarjana dari berbagai bidang, di antaranya para filosof dan penerjemah. Ia tertarik untuk mempelajari logika, dan di antara ahli-ahli logika terkenal di Baghdad, Abu Bisyr Matta ibn Yusnus-lah yang dipandang orang sebagai ahli logika paling terkemuka pada zamannya.
Untuk beberapa lama al-Farabi belajar logika kepada ibn Yunus. Ia mengungguli gurunya dan karena pencapaiannya yang gemilang di bidang ini, ia memperoleh sebutan “Guru Kedua”. Ahli logika lain ialah muridnya yang bernama Yahya ibn ‘Adi.
Al-Farabi mukim selama dua puluh tahun di Baghdad dan kemudian tertarik oleh pusat kebudyaan lain di Aleppo. Di sana, di tempat orang-orang brilian dan para sarjana, Istana Saif al-Daulah, berkumpul para penyair, ahli bahasa, filosof, dan sarjana-sarjana kenamaan lainnya.
Meski ada simpati kuat kearaban dari Istana tersebut, namun tidak ada rasa ke-ra-san atau prasangka yang dapat merusak suasana intelektual dan kultural, yang di dalamnya orang-orang Parsia, Turki dan Arab berdiskusi dan berdebat, sepakat atau berbeda pendapat tanpa mencari keuntungan pribadi dalam menuntut ilmu pengetahuan.
Baca : Karya-Karya Al Farabi
Di istana tersebut al-Farabi tinggal, dan merupakan orang pertama dan terkemuka sebagai sarjana dan pencari kebenaran. Kehidupan yang gemerlap dan kemegahan di istana itu tidak mempengaruhinya, dan dalam pikiran seorang sufi – ia membebani dirinya dengan tugas berat seorang sarjana dan pengajar ia menulis buku-buku dan artikel-artikel dalam suasana gemericik air sungai dan di bawah dedaunan pepohonan yang rindang.
Kecuali beberapa perjalanan singkatnya ke luar negeri, al-Farabi mukim di Syria hingga wafat pada tahun 339 H/950 M. Ibn Usaibi’ah menyebutnya bahwa al-Farabi mengunjungi Mesir menjelang akhir hayatnya.
Hal ini sangat mungkin, karena Mesir dan Syria mempunyai hubungan yang kuat di sepanjang rentangan sejarah yang cukup panjang, dan kehidupan kebudayaan Mesir pada masa Thuluniyyah dan Ikhsyidiyyah memang mempunyai pesona. Tetapi tersiarnya kabar tentang terbunuhnya al-Farabi oleh beberapa perampok dalam perjalanannya antara Damaskus – Asqalan sebagaimana dikutip al-Baihaqi adalah rekaan belaka.
Al-Farabi mencapai posisi yang sangat terpuji di Istana Saif al-Daulah, sampai-sampai sang Raja bersama para pengikut dekatnya mengantarkan jenazahnya ke pemakamannya sebagai penghormatan atas kematian seorang sarjana terkemuka.
Buku : History Of Muslim Philosphy
Suntingan : M.M Syarif M.A
Penerbit : Mizan
Tahun : Cetakan Ke VII 1994
No comments