Filsafat Muslim : Filsafat Al-Din Tusi (ILMU POLITIK)



Filsafat Politik


Karya Farabi Siyasah al-Madinah dan Ara’ Ahl al-Madinah al-Fadhilah adalah upaya pertama untuk merumuskan secara filosofis teori politik di dunia Muslim. Dia menggunakan istilah ‘ilm al-madani, baik dalam arti ilmu kemasyarakatan maupun ilmu pemerintahan. Dengan mengikuti pendapatnya, Tusi juga memakai istilah siyasat-i mudum dalam dua arti tersebut. Sebenarnya, sikapnya terhadap masyarakat negara (tamaddun), kelompok sosial dan kota terutama berasal dari pandangan Farabi tentang hal itu.

Manusia pada dasarnya adalah makhluk sosial. Untuk memperkuat sikapnya, Tusi mengacu pada istilah insan, sebuah kata Arab yang berarti manusia, yang secara hurufiah berarti orang yang suka berkumpul dan berhubungan. Karena kemampuan alamiah untuk berteman itu (uns-i thaba’i) merupakan ciri khas manusia, maka kesempurnaan manusia dapat dicapai dengan menunjukkan sepenuhnya watak ini terhadap sesamanya.

Peradaban merupakan nama lain dari kesempurnaan ini. Inilah sebabnya Islam menekankan keutamaan shalat berjamaah.

Kata tamaddun berasal dari kata madinah (kota) yang bermakna kehidupan bersama manusia yang memiliki pekerjaan yang berbeda-beda dengan tujuan saling membantu dalam memenuhi kebutuhan mereka. Karena tak satu manusia pun bisa mencukupi dirinya sendiri, maka setiap orang membutuhkan bantuan dan kerjasama orang lain.

Keinginan setiap manusia berbeda-beda dan begitu juga dengan dorongan yang membuat manusia mau bekerjasama. Beberapa orang bekerjasama demi kesenangan, beberapa yang lain demi keinginan untuk mendapatkan keuntungan, dan beberapa lagi bertujuan demi kebaikan dan kebajikan.

Perbedaan sebab-sebab kerjasama itu mendorong timbulnya pertentangan minat yang bisa mengakibatkan terjadinya penyerangan dan ketidak adilan. Dengan begitu maka diperlukan pemerintahan untuk membuat setiap orang merasa puas dengan haknya tanpa melanggar hak orang lain.

Oleh karena itu, pelaksanaan keadilan merupakan fungsi utama pemerintahan, yang harus dipimpin oleh seorang raja yang adil, yang menjadi penengah kedua setelah hukum-hukum Tuhan. Dia boleh saja melaksanakan kebijaksanaan kerajaan menurut waktu dan keadaan, tapi ini pun harus sesuai dengan prinsip-prinsip umum hukum Tuhan. Raja semacam itu, menurut kesimpulan Tusy, merupakan wakil Tuhan di bumi, dan merupakan dokter bagi kekerasan dunia.

Dia harus memiliki latar belakang keluarga yang terhormat, bercita-cita tinggi, adil dalam menilai, teguh pendirian, kukuh dalam menghadapi kesulitan, lapang dada dan memiliki sahabat-sahabat yang berbudi baik. Tugas pertamanya dan paling utama adalah mengukuhkan Negara dengan menciptakan rasa cinta di antara kawan-kawannya dan kebencian di antara musuh-musuhnya, juga dengan meningkatkan kesatuan antar sarjana, prajurit, petani dan pedagang – empat kelompok yang ada di dalam negara.

Kemudian Tusi menetapkan prinsip-prinsip etika perang sebagai petunjuk bagi para penguasa. Musuh tidak boleh dianggap enteng, serendah apapun dia, tapi perang juga harus dihindari sedapat mungkin, lewat muslihat-muslihat diplomatis sekalipun, tanpa harus melakukan penghianatan. Tapi jika pertentangan tak terelakkan lagi, maka serangan harus dilakukan atas nama Tuhan dan dengan persetujuan seluruh anggota pasukan.

Pasukan harus dimpimpin oleh seseorang yang memiliki semangat yang hebat, penilaian yang adil, dan pengalaman di medan perang. Tusi terutama menekankan agar dinas rahasia selalu waspada terhadap gerak musuh. Lagi pula, diplomasi menuntut agar musuh-musuh itu, selagi memungkinkan, dijadikan tawanan perang bukannya dibunuh, dan tidak boleh ada pembunuhan setelah kemenangan tercapai, sebab pengampunan lebih pantas diberikan oleh seorang raja daripada balas dendam.

Dalam masalah pertahanan, musuh harus dikejutkan dengan serangan atau sergapan mendadak, asalkan kedudukannya cukup kuat, kalau tidak, maka tak boleh ada waktu terbuang percuma hanya untuk menggali parit, membangun benteng atau bahkan menyelenggarakan perundingan damai dengan jalan menawarkan kekayaan dan menggunakan saluran diplomatik.

Tusi yang menjabat sebagai wazir Hulagu, sangat waspada terhadap perubahan pemerintahan kerajaan menjadi despotisme penuh, karena itu dia menasehatkan agar para pembantu raja tidak berusaha menghubungi mereka, sebab dengan menjadi teman mereka tidak lebih daripada berurusan dengan api.

Tidak ada jabatan yang lebih membahayakan daripada menteri raja, dan menteri tidak memiliki pelindung yang lebih kuat untuk melawan rasa cemburu Dewan dan tingkah-tingkah aneh keningratannya daripada sifat yang layak dipercaya. Menteri harus menjaga rahasia yang dipercayakan kepadanya dan tidak boleh mencari tahu mengenai hal-hal yang bukan urusannya.

Tusy sangat dihormati oleh pemimpin Mongol, meski begitu dia menyetujui pendapat ibn Muqna bahwa semakin dekat seseorang kepada raja, haruslah semakin besar rasa hormatnya terhadap raja sehingga bila raja memanggilnya dengan sebutan ‘saudara; maka dia harus memanggilnya dengan sebutan “tuan”

Gambar: LINK

No comments