Mengobati Jiwa Yang Lelah (Ibnul Jauzi) : Mewaspadai Jabatan Kekuasaan





Mewaspadai Jabatan Kekuasaan

Ketahuilah bahwa diri senantiasa mencintai kemuliaan dan keluhuran melebihi orang lain, sehingga ia senantiasa memilih kepemimpinan dan kekuasaan karena dengan kekuasaan ia memiliki kemampuan untuk memerintah dan mencegah.

Memang memiliki kekuasaan adalah suatu tuntutan, namun walau bagaimanapun didalamnya terdapat marabahaya.Paling tidak, sang penguasa bisa lengser dari kekuasaannya, dan yang paling berbabahaya adalah penyalagunaan kekuasaan itu sendiri.

Yang patut disadari oleh manusia yang mencintai kekuasaan adalah bahwa ia hanya akan mengkhayalkan kekuasaan itu sebagai suatu yang agung selama ia belum sukses meraihnya. Namun apabila kekuasaan itu telah dapat diraih, niscaya ia akan merasakannya sebagai suatu yang biasa-biasa saja, sehingga ia akan menginginkan kedudukan yang lebih tinggi dari pada sebelumnya, dan seterusnya.

Ingat bahwa kenikmatan akan menghilang, sedangkan dosa dan bahaya yang mengancam jiwa dan agama agama akan senantiasa ada. Berpkir mengenai hal ini adalah adalah obat dalam upaya mengendalikan ambisi kekuasaan.

Dalam sebuah hadis marfu' yang diriwayatkan dari abu Hurairah Radhiyallahu Anhu, Nabi Shallallahu Alaihi wasallam bersabda:

" Celakalah para pemimpin, celakalah para urafa', celakalah orang-orang yang mendapat kepercayaan. pada hari kiamat manusia sungguh sangat menginginkan agar mereka digantung dengan jalinan rambut mereka pada tsuraya ( bintang kartika ) sehingga berayun diantara langit dan bumi tanpa berbuat apa-apa".


Dalam hadis yang diriwayatkan dari Abi Dzarr, ia berkata:


" Saya bertanya: Ya Rasulallah, apakah engkau tidak mengangkatku sebagai pengawal ? Abi Dzarr berkata: kemudian Rasulallah bersabda: " Wahai Abu Dzarr, sesungguhnya kamu itu lemah, sedangkan jabatan Amanah. Pada hari kiamat nanti jabatan itu kehinaan dan penyesalan, kecuali orang yang menerima jabatan dengan haknya dan melaksanakan tugas dengan amanah.

“Dan Allah telah berjanji kepada orang-orang yang beriman di antara kamu dan mengerjakan amal-amal yang saleh bahwa Dia sungguh-sungguh akan menjadikan mereka berkuasa di muka bumi, sebagaimana Dia telah menjadikan orang-orang sebelum mereka berkuasa, dan sungguh Dia akan meneguhkan bagi mereka agama yang telah diridhai-Nya untuk mereka.
Dan Dia benar-benar akan menukar (keadaan) mereka, sesudah mereka dalam ketakutan menjadi aman sentosa. mereka tetap menyembahku-Ku dengan tiada mempersekutukan sesuatu apapun dengan aku. dan Barangsiapa yang (tetap) kafir sesudah (janji) itu, Maka mereka Itulah orang-orang yang fasik. Dan dirikanlah sembahyang, tunaikanlah zakat, dan taatlah kepada rasul, supaya kamu diberi rahmat.”
(QS. An-Nuur: 55-56)

Merupakan suatu hal yang pasti bahwa Allah SWT akan memberikan kemenangan kepada orang-orang yang beriman dan beramal shalih dalam bentuk kekuasaan (Istikhlaf).

Dengan kekuasaan itulah kemudian Islam mentransformasikan kehidupan masyarakat dengan tingkat moral, pendidikan, ekonomi, sosial, budaya yang rendah (jahiliyah) menuju masyarakat berperadaban tinggi dan maju yang berbasiskan pada: nilai-nilai, norma, hukum, moral yang ditopang oleh keimanan, menghormati Pluralitas, bersikap terbuka dan demokratis, dan bergotong- royong menjaga kedaulatan negara.

Dalam Pandangan Islam, kekuasaan bukan semata memperoleh jabatan dan dukungan rakyat, akan tetapi lebih dari itu bahwa Allah memberikan tata cara menggunakan amanah tersebut dalam formulasi perbaikan dan pembangunan, serta merealisasikan hukum Allah bagi seluruh umat manusia.

Merupakan keniscayaan dakwah untuk menegakkan amar ma’ruf nahi mungkar sebagaimana sejarah dakwah yang dilakukan oleh para nabi ditemukan suatu kenyataan bahwa memasuki wilayah politik dan kekuasaan adalah sebuah jalan yang harus dilalui umat Islam, terutama melihat kerusakan sistem politik yang parah di dalamnya.

Karena Islam adalah agama yang Syamil (menyeluruh) menyentuh seluruh aspek kehidupan. Islam tidak memisahkan antara kehidupan dunia dan akhirat, rumah tangga dan negara, ekonomi, sosial, budaya dan syariat. Keintegralan dinul Islam ini banyak diakui oleh kalangan pemikir dan cendikiawan barat yang nota bene sebagian besar dari mereka adalah orang-orang kafir.

Wilfred cantwell Smith misalnya, dalam sebuah bukunya “Islam in Modern History” mengatakan bahwa:
“Islam adalah Kekuatan Sosio Cultural satu-satunya yang paling konsisten dan kenyal di daerah-daerah yang didiami oleh penduduk muslim yang sangat banyak”.

Orang-orang yang tidak senang dengan kejayaan Islam, akan selalu berupaya untuk menghalau siapa saja yang akan mewujudkan kejayaan tersebut. Maka tidak heran masih banyak di kalangan umat Islam sendiri yang memandang aktivitas politik bukan bagian dari Islam, ia harus dipisahkan dari kehidupan umat Islam. Islam hanya dipandang sebagai aktivitas dengan ibadah-ibadah yang berbau ritual saja sedangkan Aspek yang lainnya dilupakan.

Menanggapi hasil PILLEG (Pemilihan Legislatif) yang sudah kita lalui bersama dan menjelang PILPRES (Pemilihan Presiden) yang akan datang, perolehan suara umat Islam yang dicerminkan oleh partai-partai Islam sangat jauh dari harapan. Di tengah mayoritas yang penduduknya adalah umat Islam, seharusnya partai Islam bisa mengungguli partai-partai sekuler maupun nasionalis yang ada.

Ada dua aspek yang harus kita analisis mengenai hal ini: Aspek Internal dan Aspek Eksternal.


Aspek Internal, bisa jadi umat Islam melihat bahwa Partai-partai Islam belum bisa menunjukkan Kredibilitas dan Profesionalitas kerjanya dalam menghantarkan kondisi umat yang lebih baik. Hal tersebut ditunjukkan dengan beberapa elit politik dari partai Islam yang terjerat kasus tindak pidana korupsi, belum lagi ditambah dengan perpecahan internal di banyak tubuh partai Islam itu sendiri. Hal tersebut menguatkan persepsi umat bahwa Islam memang tidak seharusnya berkecimpung di dalam politik.

Faktor Eksternal: masih banyak umat Islam yang menganggap pemilu ini hanya sekedar memenuhi kehausan penguasa yang berkepentingan saja, padahal pilihan mereka menentukan ke mana arah umat ini akan dibawa. Itu sebabnya suara umat bisa dibeli dengan sejumlah uang yang tidak seberapa harganya dibandingkan nasib umat lima tahun mendatang. Hal tersebut tidak terlepas dari konspirasi internasional yang terdesain dengan rapi, agar umat Islam tidak bisa memimpin dan hanya menjadi umat yang selalu dijajah baik pemikiran, ekonomi, politik dan sebagainya.

Umat Islam harus diberikan pemahaman bahwa partai politik hanyalah sebuah kendaraan untuk menerapkan aturan-aturan Allah SWT, memperkecil kemudharatan dan mewujudkan kemaslahatan yang sebesar-besarnya bagi umat. Untuk itu memilih partai politik serta pemimpin yang shalih dan amanah adalah keniscayaan bagi umat Islam dengan niat dan cara yang benar.

Sebagaimana Nabiyullah Yusuf as meraih kekuasaan sebagai seorang bendaharawan Negara, Rasulullah sebagai seorang Qiyadah sebuah Daulah Islamiyah, Abu bakar, Umar bin Khathab, Utsman dan ‘Ali bin Abi Thalib pernah menjabat sebagai seorang Penguasa, Umar bin ‘Abdu Azis dan Sulthan ‘Abdul Hamid adalah contoh sejarah bagaimana bila seorang penguasa adalah seorang yang ‘Alim dan Shalih serta sebagai seorang Dai.

Maka kekuasaan yang diraih adalah Demi mewujudkan Bangsa yang Adil, Sejahtera dan bermartabat. Syariat Allah akan tegak dengan sendirinya sebagaimana ia pernah tegak di masa sebelumnya. Dan semoga Allah SWT memberikan pertolongan dan kemenangan kepada setiap Umat-Nya yang dengan ikhlas melakukan ‘Amal Jihad Siyasi demi tegaknya Izzul Islam Wal Muslimin.

“(Yaitu) Orang-orang yang jika Kami teguhkan kedudukan mereka di muka bumi niscaya mereka mendirikan sholat, menunaikan zakat, menyuruh berbuat ma’ruf dan mencegah dari perbuatan yang mungkar; dan kepada Allah-lah kembali segala urusan.”
(QS. Al-Hajj: 41)


Gambar : Link

No comments