Filsafat Muslim : Filsafat Al Kindi (Tuhan ,Keterhitungan, dan Ruh dan Akal)



Tuhan

Suatu pengetahuan memadai dan meyakinkan tentang Tuhan merupakan tujuan akhir fislafat. Fislafat, sebagaimana namanya, merupakan suatu kajian Yunani. Karena itu, al-Kindi berupaya keras menyodorkan filsafat Yunani kepada orang-orang Arab.

Tepat sebagaimana kata Rosenthal: “Al-Kindi sendiri menyatakan bahwa ia menganggapnya sebagai tuganya untuk bertindak sebagai pegnalih sekaligus penafsir Arab akan peninggalan-peninggalan kuno.”

Dalam tafsiran Theon tentang Almagest-nya Ptolomeus, Tuhan digambar sebagai bersifat tetap, tunggal, gaib, dan penyebab sejati gerak.

Dalam al-Sina’at al-‘uzma, al-Kindi memaparkan sendiri gagasan serupa. Ia berkata: “Karena Allah, Mahaterpuji Dia, adalah penyebab gerak ini, yang abadi (qadim), maka Ia tak dapat dilihat dan tak bergerak, penyebab gerak tanpa menggerakkan Diri-Nya.

Inilah gambaran-Nya bagi yang memahami-Nya lewat kata-kata sederhana: “Ia Tunggal’ dan Ia tak terlihat, karena Ia tak tersusun, dan tak ada susunan bagi-Nya, tetapi sesungguhnya Ia terpisah dari segala yang dapat dilihat, karena Ia ........ adalah penyebab gerak segala yang dapat dilihat.”

Ketunggalan, ketakterlihatan, ketakterbagian, dan kepenyebaban gerak merupakan sifat-sifat-Nya, yang dinyatakan oleh Theon. Ketika al-Kindi menyebutkan semua itu, ia tak lebih dari pengalih konsepsi Hellenistis tentang Tuhan. Keaslian al-Kindi terletak pada upayanya mendamaikan konsep Islam tentang Tuhan dengan gagasan-gagasan filosofis Neo-Platonis terkemudian.

Gagasan dasar Islam tentang Tuhan adalah Keesaan-Nya, penciptaan oleh-Nya dari ketakadaan, dan ketergantungan semua ciptaan kepada-Nya. Sifat-sifat ini, dalam Al-Quran, dinyatakan secara tak filosofis atau dialektis. Al-Kindi menyhifati Tuhan dengan istilah-istilah baru.

Tuhan adalah Yang Benar. Ia tinggi dan dapat disifati hanya dengan sebutan-sebutan negatis. “Ia bukan materi, tak berbentuk, tak berjumnlah, tak berkualitas, tak berhubunganl juga Ia tak dapat disifati dengan ciri-ciri yang ada (al-ma’qulat). Ia tak berjenis, tak terbagi dan tak berkejadian. Ia abadi ......... Oleh karena itu, Ia Mahaesa (wahdah). Selain-Nya berlipat.”

Untuk memahami posisi al-Kindi, kita mesti merujuk pada kaum Tradisionalis dan Mu’tazilah. Kaum Tradisionalis – ibn Hanbal adalah salah seorang tokohnya – menafsirkan sifat-sifat Allah dengan “nama-nama Allah”.

Misal, ketika ibn-Hanbal ditanya apakah Al-Qurqan, yang merupakan firman Allah, abadi )qadim) atau diciptakan (makhluq). Ia tak menjawab. Ia hanya menjawab bahwa Al-Quran adalah firman (kalam) Allah. Kaum Tradisionalis menerima makna harfiah Al-Quran, tanpa memberikan penafsiran lebih jauh.

Kaum Mu’tazilah, yang semasa dengan al-Kindi, secara akal, menafsirkan sifat-sifata Allah demi memantapkan kemahabesaran-Nya. Mereka memecahkan masalah ini berdasarkan hubungan antara zat Allah dan sifat-sifat-Nya.

Menurut mereka, sifat-sifat utama Allah ada tiga: tahu, kuasa, dan berkehendak. Sifat-sifat ini mereka tolak, karena bila mereka menerima hal ini sebagai sifat-sifat Tuhan, berarti zat-Nya banyak.

Kaum Mu’tazilah dan para filosof sama-sama menolak sifat-sifat Tuhan seperti itu. Al-Ghazali dengan tepat berkata dalam kitabnya Thahafut al-Falasifah, bahwa “para filosof seia sekata dengan kaum Mu’tazilah bahwa tak mungkin menganggap bahwa ‘tahu, kuasa, berkehendak’ berasal dari Prinsip Pertama.”

Al-Kindi, filosof Muslim pertama, mengikuti kaun Mu’tazilah dalam menolak sifat-sifat tersebut. Tetapi pendekatannya dalam memecahkan masalah tersebut berbeda sekali.

Pertama: yang menjadi perhatiannya bukan zat Allah dan sifat-sifat-Nya tetapi hal dapat disifatinya zat Allah.

Kedua, segala sesuatu dapat didefinisikan, karena itu mereka dapat diketahui dengan menentukan jenis-jenis mereka, kecuali Allah yang tak berjenis. Dengan kata lain dalam pencariannya, al-Kindi mengikuti jalur “ahli logika.”

Dalih-dalih al-Kindi tentang kemaujudan Allah bertumpu pada keyakinan akan hubungan sebab akibat. Segala yang maujud pasti mempunyai sebab yang memaujudkannya. Rangkaian sebab itu terbatas, akibatnya ada sebab pertama, atau sebab sejati, yaitu Allah. Sebab-sebab yang disebutkan oleh Aristoteles, adalah bendawi, formal, efisien dan final. Dalam filsfat al-Kindi, sebagaimana diulang dalam tulisan-tulisannya, Tuhan adalah sebeb efisien.

Ada dua macam sebab efisien pertama, sebab efisien sejati dan aksinya adalah ciptaan dan ketiadaan (ibda’). Kedua, semua sebab efisien yang lain adalah lanjutan, yaitu sebab-sebab tersebut ada lantaran sebab-sebab lain, dan sebab-sebab itu sendiri adalah sebab-sebab dari efek-efek lain. Secara kias, sebab-sebab itu sama sekali bukanlah sebab-sebab sejati. Ia berkehendak dan tak pernah bergantung kepada sesuatu pun.

Dunia mulanya tak maujud, karena itu ia mesti butuh satu pencipta, yakni Allah. Segala ciptaan tak abadi Hanya Allah Sendirilah yang abadi. Hal ini menjelaskan segala hal yang berproses.

Begitu pula dunia secara keseluruhan, benda-benda angkasa,d an unsur-unsur semesta, seperti genus dan species, tak abadi, karena mereka terbatas dan tercipta. Segala yang terbatas ruang dan waktu, tak abadi. Gagasan tentang ketakterhingaaan mempunyai kedudukan penting dalam filsafat al-Kindi, dan kelak akan dibahas secara terinci.

Bukti lain kemaujudan Allah, berupam keteraturan alam semesta ini. Keteraturan dunia, hirarkhis bagian-bagiannya, interaksi mereka, kesempurnaan paling tinggi segala kemaujudan, kesemuanya ini membuktikan bahwa satu Kemaujudan Sempurna mengatur segala sesuatu dengan kebijakan sempurna.

Segala kemaujudan senantiasa membutuhkan Allah. Hal ini karena Allah, Sang Pencipta yang nabadi, adalah penunjang semua ciptaan-Nya, sehingga apabila sesuatu tak mendapatkan karunia-Nya, maka ia pun pupus.

Ketakterhitungan


Alam, dalam sistem Aristoteles, terbatas oleh ruang, teapi tak terbatas oleh waktu, karena gerak alam seabadi Penggerak Tak Tergerakkan (Unmovable Mover). Keabadian alam, dalam pemikiran Islam, ditolak, karena Islam berpendirian bahwa alam diciptakan. Filosof-filosof Muslim, dalam menghadapi masalah ini, mencoba mencari pemecahan yang sesuai dengan agama.

Ibn Sina dan Ibn Rusyd dituduh sebagai ateis, karena mereka sependapat dengan Aristoteles mereka berpendapat bahwa alam ini kekal. Dan, masalah ini senantiasa menjadi salah satu masalah penting dalam filsafat Islam, dan al-Ghazali menyebutkannya di bagian awal dari duapuluh sanggahannya terhadap para filosof dalam Thahafut al-Falasifah.

Al-Kindi berbeda dengan para filosof besar penggantinya, menyatakan alam ini tak kekal. Mengenai hal ini, ia memberikan pemecahan yang radikal, dengan membahas gagasan tentang keterhinggan secara matematik.

Benda-benda fisik terdiri atas materi dan bentuk, dan bergerak di dalam ruang dan waktu. Jadi, materi, bentuk, ruang dan waktu merupakan unsur dari setiap fisik, (Res autem quae sunt ini omnibus substantitis sunt quinque, quarum una est hyle at secunds est forma, et tertia est locus, et quarta una est motus, et quinta est tempus). Wujud yang begitu erat dengan fisik, waktu dan ruang, adalah terbatas, karena mereka takkan ada, kecuali dalam keterbatasan.

Waktu bukanlah gerak melainkan bilangan pengukur gerak (Tempus ergo est numerus numerans motum), karena waktu tak lain adalah yang dahulu dan yang kemudian. Bilangan ada dua macam: tersendiri dan berkesinambungan. Waktu bukanlah bilangan tersendiri, tetapi berkesinambungan.

Karena itu, waktu dapat ditentukan, yang berproses dari dulu hingga kelak. Dengan kat alain, waktu merupakan jumlah yang dahulu dan yang berikut. Waktu adalah berkesinambungan.

Waktu adalah bagian dari pengetahuan tentang kuantitas. Ruang, gerak dan waktu adalah kuantitas. Pengetahuan tentang ketiganya ini, dan juga dua yang lainnya, adalah penting guna mengetahui kualitas.

Sebagaimana disebutkan di atas, orang yang tak mengetahui kuantitas dan nkualitas, dak mengetahui yang pertama dan yang kedua. Kualitas adalah kapasitas untuk menjadi sama dan tak sama; sedangkan kuantitas adalah kapasitas untuk menjadi sejajar dan tak sejajar.

Karena itu, tiga gagasan tentang kesejajaran, kelebih besaran dan kelebihkecilan, menjadi asas dalam memaparkan konsepsi tentang keterbatasan dan ketakterbatasan.

Dalil-dalil yang menetang ketakterbatasan diulang dalam sejumlah tulisan al-Kindi. Kami kutipkan dari tulisannya. “Perihal Keterbatasan Wujud Dunia,” empat teori yang membuktikan keterbatasan:

(1) Dua besaran yang sma disebut sama, bila yang satu tak lebih daripada yang lain.
(2) Bila satu besaran ditambahkan pada salah satu dari dua besaran yang sama tersebut, maka keduanya akan menjadi tak sama.
(3) Dua besaran yang sama tak bisa menjadi tak terbatas, bila yang satu lebih kecil daripada yang lain, karena yang lebih kecil mengukur yang lebih besar atau sebagian darinya.
(4) Jumlah dua besaran yang sama, karena masing-masing terbatas, adalah terbatas.

Dengan ketentuan ini, maka setiap benda yang terdiri atas materi dan bentuk, yang terbatas ruang, dan bergerak di dalam waktu, adalah terbatas, meski benda tersebut adalah wujud dunia. Dan, karena terbatas, maka tak kekal, hanya Allah-lah yang kekal.


Ruh Dan Akal
Al-Kindi terkacaukan oleh ajaran Plato, Aristoteles, dan Plotinus tentang ruh, keterkacauan itu terutama dikarenakan ia merevisi bagian-bagian yang diterjemahkan dari Enneads-nya Plotinus, sebuah buku, yang secara salah, dianggap sebagai karya Aristoteles. Dia meminjam ajaran Plotinus tentang ruh, dan mengikuti pola Aristoteles dalam berteori tentang akal.

Dalam sebuah risalah pendek “Tentang Ruh”, sebagaimana dikatakannya, ia meringkaskan padnangan-pandangan “Aristoteles, Plato dan filosof-filosof lainnya,” Sebenarnya, gagasan yang dipaparkan itu dipinjam dari Enneads.

Ruh adalah suatu wujud sederhana, dan zatnya terpancar dari Sang Pencipta, persis sebagaimana sinar terpancar dari matahari. Ruh bersifat spiritual, ketuhanan, terpisah dan berbeda dari tubuh. Bila dipisahkan dari tubuh, maka ruh memperoleh pengetahuan tentang segala yang ada di dunia, dan melihat hal yang adialami. Setelah terpisah dari tubuh, ia menuju ke alam akal, kembali ke nur Sang Pencipta, dan bertemu dengan-Nya.

Ruh tak penah tidur, hanya saja ketika tubuh tertidur, ia tak menggunakan idnra-indranya. Dan bila disucikan, ruh dapat melihat mimpi-mimpi luar biasa dalam tidur dan dapat berbicara dengan ruh-ruh lain yang telah terpisah dari tubuh-tubuh mereka. Gagasan serupa terpaparkan dalam tulisan al-Kindi “Perihal Tidur dan Mimpi”, yang telah diterjemahkan ke dalam bahasa Latin. Tidur ialah emnghentikan penggunaan inderawi. Bila ruh berhenti menggunakan inderawi, dan hanya menggunakan nalar, maka ia bermimpi.

Tiga bagian ruh adalah nalar, keberangan dan hasrat, orang yang meninggalkan kesenangan-kesenangan jasmani, dan berupaya mencapai hakikat segala seuatu, adalah orang yang baik dan sangat sesuai dengan Sang Pencipta.

Risalah lain tentang akal memainkan peranan penting dalam fislafat jaman pertengahan baik di Barat maupun di Timur dan diterjemahkan ke dalam bahasa Latin dengan judul De Intellectu. Maksud risalah ini ialah memperjelas aneka makna akal dan menunjukkan cara memperoleh pengetahuan.

Aristoteles, dalam De Animo-nya, membedakanmenjadi dua macam, yaitu akal mungkin dan akal agen. Akal mungkin menerima pikiran, sedangkan akal agen menghasilkan obyek-obyek pemikiran. Akal agen ini dilukiskan oleh Aristotees sebagai tersendiri, tak bercampur, selalu aktual, kekal dan takkan rusak.

Alexander dari Aprhrodisias, dalam De Intellectu, menyatakan bahwa ada tiga macam akal : akal materi; akal terbiasa dan akal agen. Dengan demikian, ia menambahkan satu akal baru yaitu intellectus habitus atau adeptus. Akal materi adalah daya murni dan dapat rusak. Ia adalah daya manusia untuk menerima bentuk-bentuk.

Sedang akal terbiasa adalah akal yang memperoleh dan memiliki pengetahuan, yaitu akal yang telah berlaku dari daya menjadi aktual. Membuat daya menjadi aktual, memerlukan agen, inilah akal ketiga, yaitu juga disebut intelligencia agens, dan beberapa penafsir menafsirkannya sebagai “intelegensia ketuhanan,” yang mengalir ke dalam ruh kita.

Namun menurut al-Kindiu, bukan tiga macam akal, tetapi empat. Ia membagi akal terbiasa menjadi dua akal yang memiliki pengetahuan tanpa memprektekkannya, dan akal yang mempraktekkan pengetahuan. Yang pertama, seperti penulis yang telah belajar menulis, dan karenanya ia memiliki seni menulis ini sedang yang kedua, seperti orang yang mempraktekkan seni menulis itu.

Kita kutip alinea pembukaan dari karyanya:

1. Pertama, akal yang selalu bertindak.
2. Kedua, akal yang secara potensial berada di dalam ruh.
3. Ketiga, akal yang telah berubah, di dalam ruh, dari daya menjadi aktual.
4. Keempat, akal yang kita sebut akal yang kedua.

Yang dimaksudkannya dengan akal ‘kedua’ yaitu tingkat ke dua aktualitas, sebagaimana dipaparkan di atas dalam membedakan antara yang Cuma memiliki pengetahuan dan yang mempraktekkannya.

Satu teori lengkap tentang pengetahuan dijelaskan dalam karya lainnya. Ada dua macam bentuk bendawi dan non bendawi. Bentuk pertama yakni bersifat inderawi, karena hal-hal yang tereasa tercipta dari materi dan bentuk. Ketika ruh memperoleh bentuk materi, maka ia menjadi satu, yaitu bentuk materi itu.

Demikian pukla, bila ruh memperoleh bentuk-bentuk rasional yang non bendawi, mereka menyatu dengan ruh. Dengan begini, ruh benar-benar menjadi rasional. Sebelum itu, ruh adalah rasional dalam bentuk daya. Yang kita sebut akal, tak lain adalah genus-genus dan spesies.

Jalannya akal ini diterangkan kembali oleh al-Kindi dalam risalhnya “Filsafat Awal”. Ia berkata: “Bila genus-genus dan spesies menyatu dengan ruh, maka mereka menjadi terakali. Ruh benar-benar menjadi rasional setelah menyatu dengan spesies. Sebelum menyatu, ruh berdaya rasional.
Maka, segala suatu yang maujud dalam bentukd aya tak dapat menjadi aktual, kecuali bila dibuat oleh sesuatu dari daya menjadi aktual. Genus-genus dan spesies itulah yang menjadikan ruh, yang berupa daya rasional, menjadi benar-benar aktual, maksud saya, yang menyatu dengannya.

Al-Kindi tiba-tiba beralih dari pembahasan epistemologis di atas ke pemahaman analogi tentang kesatuan semesta dan asal-muasalnya. Yang bersifat alam semesta adalah akal, bila bersatu dengan ruh. Maka timbullah pertanyaan, apakah akal itu satu atau banyak. Dalam satu hal ia satu, dan dalam hal lain ia banyak.

Berikut ini uraian lengkapnya: “Dan, sebagaimana jumlah unsur alam semesta itu banyak, sebagaimana dipaparkan di atas, sedang ketunggalan yakni keseluruhan itu. Tetapi ketunggalan sejati (wahdah) bukanlah ketunggalan akal.\mengikuti ajaran Plotinus, al-Kindi terus menuju ke meta fisikal dari Yang Satu. Sebagaimana disebut di atas, ia mengacaukan metafisika Aristoteles tentang Kemaujudan dengan metafisika Plotinus.

Karena ini, ia tak mampu mengupayakan suatu sistem terpadunya. Inilah yang mampu dilakukan oleh al-Farabi sang Bapak Kedua.




Sumber Buku
“PARA FILOSOF MUSLIM”
“Al-KINDI”

Diterjemahkan dari Buku Tiga, Bagian Tiga
“The Philosopers”, dari buku History of Muslim Philosophy
Suntingan M.M. Syarif M.A.
Otto Horrassowitz, Welsbaden. 1963
Penyunting : Ilyas Hasan
Penerbit : Mizan
Tahun : Cetakan ke VII 1994
Penyadur : Pujo Prayitno

No comments