Filsafat Muslim : Ibn Rusyd (JALAN MENUJU ILMU)



JALAN MENUJU ILMU


Ilmu agama dan filsafat merupakan tiga bidang yang berbeda. Manusia didesak untuk mendapatkan cara tertentu untuk menyelaraskan aspek kultural ini yang terdapat pada masyarakat tempat ia tinggal kalau tidak, maka kepribadiannya akan hancur. Ilmu diperlukan untuk menyejahterakan kehidupan semua orang dalam masyarakat beradab.

Kemaujudan bendawi mereka bergantung dan terikat pada tingkat pengetahuan ilmiah. Dalam masyarakat manusia, agama malah lebih mendasar.

Sebagaimana dikemukakan oleh Bergson: “Di masa lalu dan masa kini, kita dapati masyarakat manusia yang tidak mengenal ilmu, seni atau pun filsafat. Tapi tak pernah ada suatu masyarakat pun yang tidak mengenal agama.”

Filsafat merupakan pencarian akan kebenaran. Memang benar bahwa manusia merupakan hewan yang bersifat metafisik. Kebesaran para filosof terkenal – Plato, Aristoteles, ibn Sina, ibn Rusyd, Descartes, Knat dan lain-lainnya p terletak pada kemampuan mereka menepatkan ketiga disiplin ini secara tepat, baik dalam lingkup pengetahuan maupun dalam aksi.

Filosof Muslim petama memberikan penilaian yang tepat kepada ilmu tanpa mengurangi nilai agama. Dan dengan itu mereka menjadi orang-orang Muslim sejati, hanya saja mereka menafsirkan agama dengan pengetahuan ilmiah dan filosofis mereka sendiri.

Al-Ghazali tidak puas dengan ajaran-ajaran para filosof itu. Dia menyerang mereka dalam bukunya Ketidaklogisan Para Filosof dan menuduh mereka sebagai Kafir (Kufs) atas dua puluh hal. Kefasihan al-Ghazali dalam berbicara, pengetahuannya yang dalam tentang seni berdebat dan berargumentasi serta pengetahuannya yang laus dalam berbagai studi, membuatnya termasyhur sehingga dia dianggap sebagai hujjat al-Islam.

Ibn Rusyd menanggapi tuduhan itu satu demi satu. Diskusi antara dua tokoh besar itu sungguh merupakan suatu perdebatan yang menarik yang mencerminkan pertentangan murni dalam masyarakat Muslim, antara agama di satu pihak dan ilmu serta filsafat di pihak lain. Ibn Rusyd, dalam kedudukannya sebagai filosof yang bertujuan kepada kebenaran, menyatukan ketiga hal yang berbeda itu. Lewat penafsiran al-Quran secara rasional, dia mewarnai keselarasan antara agama dan filsafat. Dia menyingkapkan jalan sejati menuju agama sebagaimana dinyatakan di dalam al-Quran.

Kemudian dia berpaling untuk melicinkan jalan menuju ilmu. Dalam pembelaannya yang penuh semangat bagi agama, al-Ghazali secara tidak dinyana-nyana menutup pintu untuk ke sana. Jalan mistis kaum Sufi dinyatakan sebagai tidak sesuai dengan metode rasional. Sayangnya, kaum Muslim mengikuti paham al-Ghazali, sang Hujjat al Islam, dan sedikit demi sedikit melecehkan studi tentang ilmu. Kebesaran peradaban yang pernah mereka alami memudar.

Di pihak lain, ibn Rusyd yang membela ilmu dan eropa abad pertengahan, mengikuti jalan yang ditunjukkan olehnya untuk mencapainya. Inilah semangat sejati paham ibn Rusdy Latin yang membangkitkan ilmu Eropa. Ilmu merupakan suatu wujud pengetahuan yang sistimatis dan terumuskan, yang bertumpu pada pengamatan dan pengklasifikasian fakta-fakta. Tapi jalan menuju ilmu lebih mendasar daripada kebenaran-kebenaran ilmiah yang terperoleh, sebab melalui metode ilmiah kita dapat mencapai realitas-realitas ilmiah serta maju terus-menerus dalam studi kita.

Dua buku Thahafut-nya al-Ghazali dan ibn Rusyd menggambarkan gagasan-gagasan yang beraksi di atas panggung peradaban Islam selama abad-abad ke-5 dan 6 H/ke-11 dan 12 M. Sebagian dari gagasan-gagasan itu, meski kini dianggap sebagai nilai-nilai historis semata, sangat penting pada masa itu. Panjangnya pembahasan masalah mengenai kekekalan dunia dan tempat utamanya pada kedua puluh pembahasan itu menunjukkan penekanan al-Ghazali pada hal itu.

Ibn Rusyd menganggap bahwa soal-soal utama, yang membuat al-Ghazali menuduh para filosof sebagai tak beragama, ada tiga: kekekalan dunia, sangkalan atas pengetahuan Tuhan mengenai hal-hal tertentu dan kebangkitan kembali jasmani. Menurut kami, masalah yang tetap sangat penting ialah masalah yang menyangkut sebab akibat. Sementara Hume mengecam sebab akibat, Kant berusaha menemukan beberapa dasar rasional tempat pijakan sebab akibat. Lewat bentuk-bentuk a priori transendental dari akal murni, Kant percaya bahwa ilmu terjaga.

Kesimpulan Stuart Mill menyaratkan kepenyebaban universal. Rusel berkata: “Entah dari prasangka murni, dari pengaruh tradisi atau karena alasan lain tertentu, adalah lebih mudah untuk percaya bahwa ada hukum alam, yang membuat sebab-sebab selalu diikuti oleh akibat.” Hanya ilmu kinilah yang menggantikan konsepsi “sebab” dengan “hukum sebab akibat,” garis-garis sebab akibat” statistik dan sebagainya.

Ibn Rusyd merasa dirinya berhak menjaga ilmu dan menunjukkan jalan mencapai realitas-realitas ilmiah, karena al-Ghazali telah merusak hubungan penting antara sebab dan akibat. Sebagaimana dikemukakan oleh Quadri:
“La science perdiat ainsi toute rasion a’etre. La sunsistance n’avait plus de fondement . . . . . . . La pensee scientifique devait etre revendiquee et sauvee.”

Al-Ghazali memulai dialog mengenai ilmu alam dengan menyebutkan satu per satu ilmu-ilmu yang berbeda “untuk mengemukakan bahwa Hukum Suci tidak mendorong manusia bersaing dan menolak mereka.” Dalam penyebutan ini dia menyebutkan ilmu-ilmu semacam mantera, alkimia, astrologi dan sebagainya. Ibn Rusyd menolak ilmu-ilmu ra spalsu semacam itu. Ilmu azimat itu omong kosong belaka. Entah alkimia benar-benar ada atau tidak. Astrologi tidak termasuk dalam ilmu fisika.

Alasan sesungguhnya mengapa al-Ghazali menyangkal hubungan sebab akibat itu adalah bahwa “pada penyangkalannya bertumpu kemungkinan penegasan keberadaan keajaiban-keajaiban yang menyela perjalanan biasa alam, seperti mengubah sutas tali menjadi seekor ular .........”

Menurut ibn Rusyd, keajaiban-keajaiban itu tidak boleh dipermasalahkan atau diteliti oleh para filosof. “Orang yang meragukannya pantas di hukum.”

Bagaimana pun keajaiban Islam tidak terletak pada keajaiban seperti mengubah seutas tali menjadi seekor ular, melainkan pada Al-Quran, “Yang keberadaannya tidak menyela perjalanan alam sebagaimana di duga . . . . . . tepi keajaibannya diakui oleh setiap manusia lewat persepsi dan pemikiran . . . . . Dan keajaiban ini jauh lebih hebat dibandingkan yang lain. Sebenarnya. Di sini ibn Rusyd mengulangi apa yang telah dinyatakan sebelumnya dalam buku kembarnya Fashl dan Kasyf.

Para ahli teolog, seperti Muhammad ‘Abduh, Ameer Ali dan yang lain-lainnya, telah mengambil pandangan ibn Rusyd ini, yang sekarang berlaku di kalangan masyarakat Muslim. Kembalinya perhatian kepada ibn Rusyd merupakan salah satu pendorong kebangunan kembali di Timur, kata Muhammad ‘Abduh, “Tidaklah mungkin bagi kaum Muslimin untuk menyangkal hubungan yang ada antara sebab dan akibat di dunia ini.”

Kini kita tinggalkan pembukaan ini dan menuju kepada pokok pembahasan Al-Ghazali mendudukan tema itu begini : “Menurut kami, hubungan antara apa yang bisa dianggap sebagai sebab dan apa yang dianggap sebagai akibat bukanlah merupakan suatu hubungan yang mesti, kedua hal itu masing-masing memiliki individualitasnya sendiri dan bukan individualitas yang lain . . . . . pemuasan dahaga tidak mengisyaratkan peminuman, atau hubungan yang membakar dengan api . . . . sebab hubungan yang ada pada hal ini berdasarkan kekuatan utama Tuhan untuk menciptakan mereka secara berurutan, meski bukan karena hubungan ini mesti dengan sendirinya.” Ibn Rusyd memulai tanggapannya dari akal sehat, yang, menurutnya, merupakan dasar ketentuan. “Menyangkal keberadaan sebab efesien yang tampak pada hal-hal yang terasa adalah menyesatkan, dan orang yang menyangkal hal itu, baik menyangkal apa yang ada di dalam pikirannya dengan lidahnya maupun terbawa oleh keraguan yang menyesatkan........ “

Tapi filsafat tidak dapat berdiri di atas akal sehat. Empirisme itu bermanfaat untuk tujuan yang praktis, bukan untuk ilmu-ilmu pasti. Empirisme praktis didasarkan pada akal sehat dan pengetahuan ilmiah mempercayai hubungan sebab akibat, hanya saja yang disebut pertama itu kurang meyakinkan, sedang yang disebut kedua lebih kuat. Bersifat ilmiah berarti mampu meramalkan apa yang akan terjadi di kemudian hari bila suatu sebab telah diketahui.

Mempercayai ilmu dan kekuatannya disebabkan oleh kemampuan kita untuk meramal atas dasar hubungan sebab akibat. Ilmu moderen tetap mempercayai hubungan sebab akibat bukan dalam bentuk lama hubungan sebab akibat, tapi dalam urutan dan struktur hubungan sebab akibatnya.

Ringkasnya, meyakini hubungan sebab akibat merupakan masalah keimaman. Ibn Rusyd telah menyempurnakan keimanan kepada alam ini, dan menyatakan bahwa segala suatu di dunia ini terjadi menurut keteraturan sempurna yang dapat dipahami sebagai hukum sebab akibat.

Ini membuat kita melihat dunia fisik sebagaimana dilihat oleh ibn Rusyd, dan begitulah hal itu dapat dikenali secara ilmiah. Dunia ini merupakan suatu rangkaian benda dan orang yang saling berkaitan dikarenakan adanya hubungan sebab akibat. Dua prinsip disyaratkan, meski tidak diungkapkan: yang pertama, yaitu benda dan yang kedua yaitu hukum sebab akibat. Dua dalil ini merupakan hasil asumsi metafisika yang berasal dari Aristoteles, yaitu gagasan mengenai substansi dan gagasan mengenai empat sebab. Al-Ghazali mengingkari dua prinsip itu.

Sedangkan mengenai kekekalan benda, dia meniru argumen bandingan beberapa filosof dengan cara yang menggelikan, yaitu bahwa “Jika seseorang yang meninggalkan sebuah buku di rumah bisa mendapatkannya kalau dia kembali muda . . . . . sebab batu berubah menjadi emas, dan emas berubah menjadi batu dan jika dia ditanya mengenai hal ini dia akan menjawab, “Aku tidak tahu apa yang ada di dalam rumahku pada saat ini.”

Al-Ghazali menerima tantangan itu dengan mengatakan: “Tidak ada keberatan (bagiku) untuk mengakui bahwa apa pun mungkin bagi Tuhan.”

Contoh tentang kemungkinan ini yaitu keajaiban Ibrahim ketika dia dilemeparkan ke dalam nyala api dan tidak terbakar. Api, dengan kehendak Tuhan, kehilangan sifat membakarnya, Penyebab sesungguhnya yaitu Tuhan, yang melalui kehendakdan kekuasaan-Nya, memberikan sifat kepada benda-benda. Maka, tak ada alasan mengapa mereka tidak bisa bertentangan dengan sifat mereka yang sesungguhnya.

Untuk menghadapi argumentasi ini, ibn Rusyd melihat masalah dari sudut pandang filosofis yang telah disebutkan di atas. Kekekalan benda membuat kita dapat mencapai hakikat suatu benda, definisinya, dan memberinya nama. “Sebab sudah terbukti dengan sendirinya, dan memberinya nama, “Sebab sudah terbukti dengan sendirinya bahwa semua benda itu memiliki esensi dan sifat-sifat yang menentukan fungsi-fungsi khusus masing-masing benda itu dan, yang lewat esensi dan sifat-sifat itu, definisi dan nama-nama dibeda-bedakan.

Jika sebuah benda tidak memiliki sifat khusus, maka ia tidak akan memiliki satu nama atau definisi khusus, dan segala sesuatu akan menjadi nama saja.”

Mengenai dalil kedua hubungan sebab akibat, “Semua kejadian memiliki empat sebab, agen, bentuk, materi dan akhir.” Pikiran manusia mencerap hal-hal yang membayangkan sebab-sebab mereka. Dan, “intelegensi hanyalah persepsi segala hal beserta sebab-sebab mereka, dan dalam hal ini ia membedakan dirinya sendiri dari semua dayan pencerapan yang lain dan orang yang mengingkari sebab-sebab, berarti ia mengingkari akal.

Logika mengisyaratkan keberadaan sebab dan akibat, dan pengetahuan tentang akibat hanya dapat menjadi sempurna lewat pengetahuan tentang sebab. Pengingkaran akan sebab mengisyaratkan pengingkaran akan pengetahuan.” Jika mereka menamkan hubungan sebab akibat itu sebagai kebiasaan, maka kebiasaan merupakan suatu istilah yang membingungkan.

Apakah yang mereka maksudkan dengan kebiasaan itu (1) kebiasaan agen, atau (2) kebiasaan benda-benda yang ada, atau (3) kebiasaan kita membentuk suatu kebiasaan di sekitar hal-hal semacam itu? Ibn Rusdy menolak dua makna pertama dan menerima makna terakhir yang sesuai dengan konseptualismemnya. Sebab mustahillah bahwa Tuhan memiliki kebiasaan. Kebiasaan hal-hal yang ada benar-benar merupakan sifat mereka, karena kebiasaan hanya ada pada yang hidup.

Secara keseluruhan, jalan menuju ilmu dimulai dengan keimanan yang merupakan dasar ketentuan. Para penganut skeptisisme dan agnotisme tidak mendapatkan tempat di bidang ilmu. Dengan bersenjatakan keimanan akan kemaujudan dunia semacam itu, akal menemukan sebab-sebab segala suatu. Pengetahuan ilmiah adalah pengetahuan tentang hal-hal sebab-sebab keberadaan hal-hal itu

No comments