Filsafat Muslim : Filsafat Ibn Rusyd Filsafat dan Agama





FILSAFAT DAN AGAMA

Perseuaian antara filsafat dan agama sudah sepantasnya dianggap sebagai ciri terpenting filsafat Islam. Cara ibn Rusyd memecahkan masalah ini benar-benar merupakan cara yang jenius.

Sebagai seorang filosof, dia menyadari bahwa telah menjadi tugasnyalah membela para filosof dalam menangkis serangan-serangan keras para faqih dan teolog, terutama setelah mereka dikutuk oleh al-Ghazali dalam karyanya Ketidaklogisan Para Filosof.

Risalah ibn Rusyd yang berjudul: Fashl al Maqat fi ma bainal Hikmah was-Syari’ah minal Ittishal, merupakan suatu pembelaan bagi filsafat sepanjang filsafat tersebut serasi dengan agama.

Mungkin diragukan, pada masa sekarang ini, apakah soal seperti itu pantas dihebohkan. Tapi pada abad ke 6 H/ke-12 M, masalah semacam itu memang sangat penting. Para filosof dituduh beruat bid’ah (kufr) atau tidak beragama.

Al-Ghazali dalam karyanya Thahafut, mengutuk para filosof sebagai orang-orang yang tidak beragama. Kalau tuduhan itu benar, maka para filosof itu, berdasarkan Hukum Islam, harus dihukum mati, kecuali kalau mereka mau melepaskan diri dari berfilsafat atau membuat pernyataan di depan umum bahwa mereka tidak percaya kepada ajaran-ajaran filsafat mereka. Oleh karena itu, perlulah bagi para filosof membela diri dari pendapat-pendapat mereka.

Ibn Rusyd membuka risalah dengan mengajukan pertanyaan tentang apakah filsafat itu sah, dilarang, dianjurkan atau diharuskan dalam Syari’ah (Hukum Islam). Jawabannya, sejak dini, yaitu bahwa filsafat diwajibaakan atau paling tidak dianjurkan dalam agama (agama dalam pengertian ini dianggap sama dengan Syari’ah, terutama Islam).

Sebab fungsi filsafat hanyalah membuat spekluasi atas yang maujud dan memikirkannya selama membawa kepada pengetahuan akan Sang Pencipta. Al-Quran memerintahkan manusia untuk berfikir (i’tibar) dalam banyak ayat-Nya seperti: “Berpikirlah, wahai yang bisa melihat.” Al-i’tibar merupakan suatu ungkapan Qurani yang berarti sesuatu yang lebih dari sekedar spekulasi atau refleksi (nazar).

Mengartikan perintah berpikir dalam Al-Quran ini secara logika, tidak lebih dari sekedar mengetahui yang gaib dari yang diketahui lewat pengambilan kesimpulan. Cara penalran secama ini disebut deduksi, dimana pemaparan (burhan) merupakan bentuk paling baik. Dan karena Tuhan memerintahkan manusia untuk mengenal-nya lewat pemaparan tersebut, maka orang harus mulai belajar tentang bagaimana membedakan antara deduksi demonstratif dan deduksi dialektis, retoris dan sofistikis.

Pemaparan merupakan alat yang dapat digunakan oleh seseorang untuk mendapatkan pengetahuan tentang Tuhan. Ini merupakan metode pemikiran yang logis yang membawa kepada kepastian.

Jadi Al-Quran memerintahkan manusia untuk mempelajari filsafat, karena manusia harus membuat spekulasi atas alam raya ini dan merenungkan bermacam-macam kemaujudan. Kini telah kita lewati bidang fiqih yang absah dan menuju bidang filsafat, meskipun keduanya berbeda. Sasaran agama secara filosofis yakni:
agama berfungsi sebagai pencapai teori yang benar dan perbuatan yang benar (al-‘ilm al-haq wal-‘amal al-haqq).

Hal ini mengingatkan kita kepada definisi al-Kindi dan para pengikutnya, yang sampai saat ini tetap dipakai dalam filsafat Islam.

Pengetahuan Sejati ialah pengetahuan tentang Tuhan, tentang kemaujudan lainnya, dan tentang kebahagiaan serta kesengsaraan di akhirat. Ada dua cara untuk mendapatkan pengetahuan, yaitu pencerapan dan persesuaian. Persesuaian bisa bersifat demonstratif, dialektis atau retoris.

Ketiga macam persesuaian ini diguanakan dalam Al-Quran. Manusia terdiri atas tiga golongan \: para filosof, para teolog dan orang-orang awam (al-Jumhur).

Para filosof adalah kaum yang menggunakan cara demonstratif. Para teolog – yaitu orang-orang Asy’ariah, yang ajaran-ajaran mereka menjadi ajaran-ajaran resmi pada masa ibn Rusyd – ialah kaum yang lebih rendah tingkatannya, karena mereka memulai dari penalaran dalektis dan bukan dari kebenaran ilmiah. Orang awam ialah “orang-orang retoris” yang hanya bisa mencerap sesuatu lewat contoh-contoh dan pemikiran puitis.

Sejauh ini, agama sejalan dengan filsfat. Tujuan dan tindakan filsafat sama dengan tujuan dan tindakan agama. Tinggal masalah keselarasan keduanya dalam metode dan permasalahan materi. Jika yang tradisional itu (al-manqul) ternyata bertentangan dengan yang rasional (al-ma’qul), maka yang tradisional harus ditafsirkan sedemikian rupa supaya selaras dengan yang rasional. Penafsiran yang bersifat alegoris (ta’wil) didasarkan pada kenyataan bahwa di dalam Al-Quran dan ayat-ayat yang tersurat dan tersirat (batin).

Para ulama Muslim pada masa lalu berusaha mengelak dari menafsirkan ayat-ayat semacam itu, sebab mereka takut akan mengacaukan pemikiran kaum awam. Kaum Asy’ariah menfsirkan ayat-ayat semacam itu sebagai sesuatu yang “duduk di atas Singgasana: (al-istiwa), sedangkan kaum Hanbaliah percaya bahwa ayat-ayat tersebut adalah “tersurat”.

Sebagai filosof, ibn Rusyd bersikap lain dari para ulama Muslim itu, (orang-orang Asy’ariah dan Hanbaliah). Ta’wil boleh dilakukan hanya oleh para filosof, yang merupakan kaum demonstratif. Bahkan waktu itu, ta’wil mesti dipandang sebagai pengetahuan esoteris, dan sama sekali tidak boleh dikemukakan kepada orang awam.

Ibn Rusyd kembali kepada bidang Fiqh dan membandingkan metode logika filsfat dengan metode tradisional Fiqh. Yang disebut terakhir ini, yaitu prinsip-prinisp Fiqh, berpijak apda empat sumber: Al-Quran, Hadis, ijma (konsensus) dan Qiyas (silogisme yang absah). Telah kita pahami bahwa Al-Quran mesti ditafsirkan secara rasional. Ijma’ adalah buah kesepakatan secara aklamasi dari para alim pada masa tertentu.

Tapi tiada konsensus mengenai masalah-masalah doktrinal. Kapan pun, semata-mata karena beberapa alim percaya, sebagaimana tercantum dalam Al-Quran, bahwa ada beberapa masalah yang mesti dirahasiakan. Hanay “mereka yang memiliki kekuatan pengetahuan” (al-rasikhun fil’ilm) yang berhak mengetahuinya. Dan, karena tidak ada konsensus dalam masalah-masalah doktrinal, maka al-Ghazali, atas dasar ijma’, tidak berhak mengutuk para filosof sebagai orang-orang tak beragama.

Dalam pandangan al-Ghazali, mereka pantas dituduh sebagai ahli bid’ah (takfir) lantaran tiga hal : ajaran mereka tentang keabadian dunia, penolakan mereka atas pengetahuan Tuhan atas segalanya; dan penolakan mereka atas kebangkitan kembali secara jasmaniah.

Menurut ibn Rusyd, agama didasarkan atas tiga prinsip yang mesti diyakini oleh setiap Muslim : eksistensi Tuhan, kenabian, dan kebangkitan. Tiga prinsip ini merupakan pokok masalah agama. Karena kenabian berdasarkan wahyu, maka filsafat akan selalu berbeda dengan agama, bila tidak bisa dibuktikan bahwa akal dan wahtu bersesuaian.

Masalah ini dibahas secara lebih terinci dalam bukunya yang lain. Tapi orang yang menolak prinsip yang mana pun dari yang disebut di atas, berarti ia tak beragama (kafir). Dia dapat mempercayai apa yang disukainya secara demontratif, dialektis ataupun retoris.

Para filosof tidak boleh mengemukakan penafsiran esoteris mereka kepada orang awam bila tidak mau dituduh sebagai ahli bid’ah. Para teolog yang bertindak begitu, bertanggung jawab atas timbulnya berbagai mazhab dalam Islam yang tuduh menuduh sebagai ahli bid’ah.

Ringkasnya, filsafat ialah saudara kembar agama keduanya merupakan sahabat yang pada dasarnya saling mencintai.

No comments