Filsafat Muslim : Ibn Bajjah Filsafat Politik, Etika dan Tasawuf



Filsafat Politik


Ibn Bajjah menulis sejumlah risalah kecil mengenai pemerintahan Dewan Negara dan pemerintahan Negara-Kota, tapi buku yang sekarang masih bisa dibaca hanyalah Tadbir al-Mutawahhid (Razim Satu Orang). Sebagaimana dijelaskan dalam buku ini, ibn Bajjah sangat menyetujui teori politik al-Farabi.

Misalnya Dia menerima pendapat al-Farabi yang membagi Negara menjadi negara sempurna dan yang tidak sempurna. Dia juga setuju dengan al-Farabi yang beranggapan bahwa individu yang berbeda dari sebuah bangsa memiliki watak yang berbeda pula – sebagian dari mereka lebih suka memerintah dan sebagian yang lain lebih seuka diperintah.

Tapi ibn Bajjah memberikan tambahan kepada sistem al-Farabi ketika dia mendesakkan pendapatnya bahwa manusia yang memerintah secara sendiria itu (mutawahhid atai filosof yang berpikiran tajam) harus selalu berada lebih tinggi dari orang-orang lain pada kesempatan-kesempatan tertentu.

Meskipun menghindari oranga lain itu sendiri tidak diinginkan, namun hal itu diperlukan untuk mencapai kesempurnaan. Dia juga menasehati agar filosof menemui masyarakatnya hanya pada beberapa kesempatan tertentu dalam waktu sebentar saja, dan dia harus pindah ke negara-negara tempat dia dapat memperoleh pengetahuan perpindahan itu harus dilakukan di bawah hukum-hukum ilmu politik.

Dalam risalah al-Wada’ ibn Bajjah memberikan dua fungsi alternatif Negara:

(1) untuk menilai perbuatan rakyat guna membimbing mereka mencapai tujuan yang mereka inginkan. Fungsi ini paling baik dilaksanakan di dalam Negara ideal oleh seorang penguasa yang berdaulat.

(2) Fungsi alternatif ini yaitu merancang cara-cara mencapai tujuan-tujuan tertentu, persis sebagaimana seorang penunggang, sebagai latihan pendahuluan, mengendalikan tali kekang demi menjadi penunggang yang mahir. Ini merupakan fungsi pelaksana-pelaksana Negara-negara yang tidak ideal. Dalam hal penguasa disebut rais (pemimpin). Sang pemimpin menerapkan di Negara itu suatu sistem tradisional untuk menentukan seluruh tindakan rakyat.

Dalam sistem al-Farabi dan ibn Bajjah, kosntitusi harus disusun oleh Kepala Negara, yang telah disamakan oleh al-Farabi dengan seorang Nabi atau Imam.

Ibn Bajjah tidak menyebutkanidentitas ini secara terperinci, tetapi secara tidak langsung dia setuju dengan pendapat al-Farabi ketika dia menyatakan bahwa manusia takkan mencapai kesempurnaan kecuali lewat yang dibawa oleh para rasul dari Tuhan Yang Mahatinggi (yaitu Hukum Tuhan atau Syari’ah).

Mereka yang mengikuti petunjuk Tuhan takkan sesat. ”Oleh karena itu, adalah terlalu lancang bila mengatakan bahwa “Dia (ibn Bajjah) mengabaikan relevansi politis Hukum Tuhan (Syari’ah) dan nilai edukatifnya bagi manusia sebagai warga negara.”


Etika


Ibn Bajjah membagi tindakan menjadi tindakan hewani dan manusiawi. Yang pertama dikarenakan oleh kebutuhan-kebutuhan alamiah, bersifat hewani sekaligus manusiawi. Makan, misalnya, bersifat hewani sepanjang hal itu dilakukan demi memenuhi kebutuhan dan keinginan, juga bersifat manusiawi sepanjang hal itu dilakukan untuk menjaga kekuatan dan kehidupan demi meraih karunia-karunia spiritual.

Ibn Bajjah membawa perhatian kita kepada unsur-unsur manusiawi yang aktig, sebab manusia terlalu tinggi untuk dikualifikasikan dengan unsur-unsur pasif yang bersifat material atau hewani. Unsur manusia untuk mempelajari merupakan unsur pasif, begitu pula dalam arti yang berbeda. Unsur aktif berkeinginan mencapai kesempurnaan saja, sesudah itu ia berhenti sebagaimana dalam cara yang digunakan untuk menyelesaikan suatu urusan dagang.

Tapi pengulangan cara itu dilaksanakan hanya lewat pendapat dan ruh (soul) yang berhasrat. Apa yang dilaksanakan karena ruh (soul) yang mengandung hasrat merupakan tindakan yang dilakukan oleh pendapat merupakan tindakan yang dilakukan untuk mencapai tujuan yang lain. Ruh (soul) yang mengandung hasrat menginginkan suatu obyek yang bersifat kekal, keinginan itu disebut kesenangan, dan ketiadaannya disebut kejemuan dan kesakaitan.

Siapa pun yang bertindak dengan cara ini dianggap sebgai telah melakukan tindakan hewani. Dan mereka yang bertindak melalui pendapat atau pikirannya bertindak secara manusiawi. Pendapat menggerakkan orang ke arah yang secara esensial kekal, atau ke arah yang kekal karena hal itu berlimpah-limpah.

Jika tindakan bersifat kekal dikarenakan kelimpahan, maka tujuan akan menggantikan tindakan permulaan. Pengupayaan tujuan ini terjadi karena kecenderungan semata, yang dalam hal itu ia merupakan suatu tindakan hewani, atau karena pendapat yang bertujuan mencapai kesempurnaannya.

Tujuan itu beragam sesuai dengan sifat individu-individu beberapa orang misanya, lahir untuk menjadi pembuat sepatu,d an yang lain untuk menguasai ketrampilan lain. Tujuan-tujuan saling melayani,d an mereka semua menuju ke tujuan akhir yang sama – yaitu tujuan utama. Manusia utama tentu saja adalah yang mempersiapkan dirinya untuk mencapai tujuan utama itu, dan mereka yang tidak siap untuk itu tentu saja tunduk.

Oleh karena itu sebagian orang tentu saja patuh dan diperintah oleh yang lain, dan sebagian memiliki wewenang alamiah dan memerintah yang lain.

Pendapat secara esensial kadang-kadang benar. Hal ini terjadi bila ia menginignkan yang kekal. Kadang-kadang ia secara kebetulan benar dan bukan secara esensial. Pendapat-pendapat orang pandai, misalnya, adalah benar tentang obyek-obyek yang telah mereka bangun tapi tidak benar dalam diri mereka sendiri.

Pendapat-pendapat ini secara relatif benar, tapi secara universal tidak benar. Tanaman colocynth bermanfaat bagi orang yang berdarah dingin, tapi tidak untuk semua orang. Di pihak lain, roti dan daging bermanfaat secara alamiah dan secara universal. Pendapat yang secara relatif dan umum benar adalah benar secara mutlak.

Tapi kadang-kadang apa yang secara relatif benar, tidak benar secara umum, dan karena itu ia benar dalam satu segi dan salah dalam segi lain.

Untuk menyatakan apakah sesuatu tindakan itu bersifat hewani atau manusiawi, perlulah memiliki spekulasi di samping kemauan. Dengan memperhatikan sifat kemauan dan spekulasi ibn Bajjah membagi kebajikan menjadi dua jenis, kebajikan formal dan spekulatif. Kebajikan formal merupakan pembawaan sejak lahir tanpa pengaruh kemauan atau spekulasi, seperti kejujuran seekor anjing, sebab mustahil bagi seekor anjing untuk tidak jujur.

Kebajikan ini tidak bernilai pada manusia. Kebajikan spekulatif didasarkan pada untuk memenuhi keinginan alamiah disebut tindakan ketuhanan bukan manusiawi, sebab hal ini jarang terdapat pada manusia. Yang baik, menurut ibn Bajjah, merupakan eksistensi, dan yang jahat merupakan ketiadaan. Dengan kata lain, yang jahat, baginya, benar-benar tidak jahat.


Tasawuf

Renan berpendapat benar bahwa ibn Bajjah memiliki kecenderungan kepada tasawuf, tapi tentu salah ketika dia menganggap bahwa ibn Bajjah menyerang al-Ghazali karena dia menandaskan intuisi dan tasawuf. Sesungguhnya ibn Bajjah mengagumi al-Ghazali dan menyatakan bahwa metode al-Ghazali memampukan orang memperoleh pengetahuan tentang Tuhan, dan bahwa metode itu didasarkan pada ajaran-ajaran Nabi Suci. Sang Sufi menerima cahaya di dalam hatinya.

Cahaya di dalam hatinya ini merupakan suatu spekulasi, yang lewast spekulasi itu hati melihat hal-hal yang dapat dipahami seperti orang melihat obyek yang tertimpa sinar matahari lewat penglihatan mata dan lewat pemahaman hal-hal yang dapat dipahami ini dia melihat semua yang , melalui implikasi mendahului mereka atau menggantikan mereka.

Ibn Bajjah menjunjung tinggi para Wali Allah (Auliya ‘Allah) dan menempatkan mereka di bawah para Nabi. Menurutnya, sebagian orang dikuasai oleh keinginan jasmaniah belaka – mereka berada di tingkat paling bawah – dan sebagian lagi dikuasai oleh spiritualitas – kelompok ini sangat langka, dan termasuk dalam kelompok ini Uwais al-Qarni dan Ibrahim ibn Adham.

Terhadap Tuhan dan ketentuan-Nya, ibn Bajjah hampir menyatakan dirinya sebagai seorang fatalis. Dalam satu risalahnya, dia menyatakan bahwa seandainya kita berpaling kepada ketetapan Tuhan dan kekuasaan-Nya maka kita benar-benar memperoleh kedamaian dan kebahagiaan.

Segala yang ada berada dalam pengetahuan-Nya dan hanya Dia yang mampu mendatangkan kebaikan kepada mereka. Karena Dia mengetahui segala sesuatu secara esensial, maka Dia memberikan perintah-perintah kepada suatu perantara untuk menemukan suatu bentuk seperti yang ada dalam pengetahuan-Nya dan kepada penerima bentuk-bentuk untuk menerima bentuk itu. Inilah yang terjadi pada semua yang ada, bahkanb pada materi yang fana serta akal manusia.

Untuk menunjang pandangannya bahwa Tuhan adalah Pencipta Utama segala tindakan, ibn Bajjah mengacu pada pandangan al-Ghazali yang dikatakannya pada bagian akhir dari karyanya Misykat al-Anwar, bahwa Prinisp Pertama itu menciptakan agen-agen dan obyek-obyek tindakan dan dia selanjutnya mengambil penun jang lain untuk pandangannya ini dari pengamatan al-Farabi dalam ‘Ujun al-Masa’il, bahwa semuanya berkaitan dengan Prinsip Pertama sebab Yang Pertama itu merupakan pencipta mereka.

Ibn Bajjah juga menyatakan bahwa Aristoteles mengatakan dalam bukunya Physics bahwa Agen Pertama adalah agen sebenarnya, dan agen yang dekat tidak bertindak kecuali lewat yang pertama. Yang pertama membuat aksi yang dekat dan obyek tindakan. Yang dekat itu dikenal sebagai agen oleh sebagian besar orang hanya dalam masalah-masalah material.

Raja yang adil, misalnya, pantas menerima sebutan adil, meskipun dia jauh tingkatannya dari dia yang ada di bawahnya dalam rangkaian agen itu. Siapa pun yang menganggap bahwa suatu tindakan berasal dari agen yang dekat sama saja dengan seekor anjing yang menggit sebuah batu yang membenturnya.

Tapi penganggapan bahwa tindakan itu berasal dari agen yang dekat adealah mustahil dalam masalah-masalah yang tidak bersangkut-paut dengan materi-materi fisik. Akal yang aktif yang mengelilingi benda-benda angkasa itu merupakan agen dekat dari hal-hal yang tak kekal. Tapi Dia yang menciptakan akal yang aktif dan benda-benda angkasa itulah agen kekal yang sejati.

Tuhan menyebabkan keberadsaan suatu benda berlanjut tanpa akhir setelah ketakberadaan fisiknya. Bila suatu yang ada mencapai kesempurnaan, maka dia tidak ada lagi dalam zaman tetapi ada selamanya dalam keterus-menerusan masa (dhar).

Ibn Bajjah di sini mengingatkan kita akan salah satu sabda Nabi Suci:

“Jangan menyalahgunakan Dahr karena dahr itu Allah.”

Dengan penafsiran begitu, perkataan itu mengandung makna bahwa akal manuisa itu kekal. Untuk menunjang penafsiran kata dahr ini, ibn Bajjah menyebutkan para pendahulunya seperti Al- Farabi dan al-Ghazali

Baca Juga : Pengertian dan tafsir Dahr

No comments