Filsafat Muslim : Al Kindi (Keselarasan Filsafat Dan Agama)


Al-Kindi, mengarahkan filsafat Muslim ke arah kesesuaian antara filsafat dan agama. Filsafat berlandaskan akal pikiran, sedang agama berdasarkan wahyu. Logika merupakan metode filsafat sedangkan iman, yang merupakan kepercayaan kepada hakikat-hakikat yang disebutkan dalam Al-Quran sebagaimana diwahyukan Allah kepada Nabi-Nya, merupakan jalan agama.

Sejak awal sekali, orang-orang agama tak mempercayai filsafat dan filosof. Para filosof diserang sebagai pembuat bid’ah. Al-Kindi mesti membela diri dari tuduhan orang-orang agama bahwa “mengetahui hakikat segala sesuatu adalah kufur.”

Sebaliknya al-Kindi menuduh orang-orang agama sebagai tak agamis dan menjual agama. “Mereka berselisih dengan orang-orang baik-baik dalam membela kedudukan yang tidak benar, yang telah mereka peroleh tanpa memberikan manfaat dan hanya untuk memperoleh kekuasaan dan menjual agama.”

Keselarasan antara filsafat dan agama didasarkan pada tiga alasan:

(1) ilmu agama merupakan bagian dari filsafat, (2) Wahyu yang diturunkan kepada Nabi dan kebenaran filsafat saling bersesuaian, (3) Menuntut ilmu, secara logika, diperintahkan dalam agama.

Filsafat merupakan pengetahuan tentang hakikat segala sesuatu, dan ini mengandung teologi (al-rububiyyah), ilmu Tauhid, etika, dan seluruh ilmu pengetahuan yang bermanfaat.

Baca : Filsafat Alami Al Kindi

Apalagi, para Nabi telah memerintahkan untuk mencari kebenaran dan berbuat kebajikan. “Keseluruhan ilmu yang bermanfaat dan jalan untuk memperolehnya, penghindaran dari segala yang mudharat dan mencegahnya – pencapaian semua ini, merupakan yang dinyatakan, atas nama Allah oleh nabi-nabi. Para nabi-nabi telah menyatakan Kemahaesaan Allah, kebajikan yang diridhai-Nya, dan penolakan kekejian yang bertentangan dengan kebajikan diri.”

Demikian pula, pencarian filsafat adalah perlu, karena hal itu “perlu atau tidak perlu. Bila para teolog (yang menentang pencarian filsafat) mengatakan bahwa hal itu perlu, maka mereka harus mempelajarinya bila mereka mengatakan bahwa hal itu tak perlu, maka mereka harus memberikan alasan untuk ini, dan memaparkannya. Pemberian alasan dan pemaparannya merupakan bagian dari pencarian pengetahuan tentang hakikat.

Maka dari itu, mereka perlu memiliki pengetahuan ini dan menyadari bahwa mereka harus memperolehnya.”

Dalam risalah, “Jumlah karya Aristoteles”, al-Kindi membedakan secara tajam antara agama dan filsafat. Pembicaraannya tentang masalah ini, membuktikan bahwa ia membandingkan agama Islam dengan filsafat Aristoteles. Ilmu Ilahiyah, yang dibedakannya dari filsafat, ialah islam, sebagaimana diturunkan kepada Rasulullah dan termaktub dalam Al-Quran.

Bertentangan dengan pendapat umumnya bahwa ilmu agama (teologika) adalah bagian dari filsafat, di sini kita dapati:
(1) bahwa kedudukan teologi lebih tinggi dari filsafat, (2) bahwa agama merupakan ilmu ilahiah, sedangkan filsafat merupakan ilmu insani, (3) bahwa jalur agama adalah keimanan, sedang jalur filsafat adalah akal, (4) bahwa pengetahuan nabi diperoleh langsung melalui wahyu, sedangkan pengetahuan filosof diperoleh melalui logika dan pemaparan. Kita tetap sepenuhnya kalimat yang menarik dan amat penting ini.

“Bila seseorang tak memperoleh pengetahuan yang bermutu dan banyak, maka ia tak memiliki pengetahuan yang hakiki dan tak hakiki. Dengan demikian, orang tak dapat mengharapkannya memiliki sesuatu pengetahuan tentang ilmu insani yang diperoleh orang melalui riset, upaya, ketekunan dan waktu. Ilmu-ilmu ini sedikit berada di bawah kedudukan ilmu ilahiah (al-‘ilm al-ilahi), yang diperoleh tanpa melalui riset, upaya, ketekunan dan waktu.

Pengetahuan ini adalah pengetahuan para nabi, suatu pengetahuan yang dianugerahkan Allah tak seperti matematika dan logika, ia diperoleh tanpa melalui riset, upaya, studi, ketekunan, dan tak membutuhkan waktu. Ia diperoleh melalui kehendak-Nya, penyucian dan pencerahan jiwa, sehingga mereka berpaling kepada kebenaran, lewat pertolongan, ilham, dan wahyu-wahyu-Nya.

Pengetahuan ini bukanlah hak istimewa semua manusia, tetapi hak para nabi. Inilah salah satu mukjizat mereka, tanda yang membedakan para nabi dari manusia lainnya. Manusia yang bukan nabi takkan memperoleh pengetahuan tentang hakikat dan yang bukan hakikat, yang tanpa melalui riset, ketekunan, matematika, logika, dan proses waktu.

Karena itu, para pemikir menyimpulkan bahwa lantaran ini (pengetahuan) ada, maka ia datang dari-Nya; sedang orang awam secara fitri tak mampu mencapai pengetahuan serupa, karena hal itu berada di atas dan di luar sifat dan upaya mereka. Karenanya, mereka berpasrah diri, patuh, dan mempercayai sepeuhnya kebenaran sabda para nabi.

Kaum Muslim mengikuti firman Allah yang termaktub dalam Al-Quran, dan teryakinkan oleh hujja-hujjah meyakinkannya. Para filosof bersandar kepada pemaparan logika, yaitu dalih-dalih mereka. Dalih-dalih filosofis bertumpa pada asas-asas awal pemaparan bukti diri.

Baca : Tentang Al Kindi (Filsafat Arab)

Menurut al-Kindi, hujjah-hujjah Al-Quran Suci lebih pasti dan meyakinkan daripada dalih-dalih filosofis manusia. Al-Quran memberikan pemecahan-pemecahan atas msalah-masalah yang sangat hakiki, misal penciptaan dunia dari ketakadaan dan kebangkitannya kembali. Al-Kindi berpendirian bahwa hujjah-hujjah Al-Quran “sangat meyakinkan, jelas, dan menyeluruh.” Sehingga hal itu menimbulkan kepastian dan keyakinan.

Karena itu, Al-Quran jauh mengungguli dalih-dalih para filosof. Sebuah contoh tentang hujjah-hujjah kuat semacam itu terdapat dalam jawaban terhadap pertanyaan kaum kafir: “Siapakah yang mampu menghidupkan kembali tulang-tulang yang sudah menjadi debu?” Jawabannya: “Dialah yang mula membuat mereka, yang akan menghidupkan mereka.”

Dengan demikian, al-Kindi telah membuka pintu bagi penafsiran filosofis terhadap Al-Quran, sehingga menciptakan persesuaian antara agama dan fislafat.

Dalam karangannya The Worship (sujud) of the Primum Mobile, ayat:
“Bintang-bintang dan tetumbuhan bersujud” ditafsirkan dengan berpijak pada aneka makna kata sajdah yang berarti:

(1) sujud dalam shalat (2) kepatuhan (3) perubahan dari ketidaksempurnaan menjadi kesempurnaan (4) mengikuti aturan secara ikhlas. Arti terakhir inilah yang dipergunakan untuk arti sujudnya bintang-gemintang. Suasana langit dihidupkan, dan menyebabkan pertumbuhan dan keruntuhan kehidupan di dunia. Gerak primum mobile disebut “bersujud”, dalam artian mematuhi Allah.

Kesimpulannya, al-Kindi adalah filosof pertama dalam Islam, yang menyelaraskan antara agama dan filsafat. Ia melicinkan jalan bagi al-Farabi, Ibn Sina dan Ibn Rusyd. Ia memberikan dua pandangan berbeda.

Yang pertama, mengikuti jalur ahli logika, dan memfilsafatkan agama, yang kedua, memandang agama sebagai sebuah ilmu ilahiah, dan menemnpatkannya di atas filsafat. Ilmu Ilahiah ini diketahui lewat jalur para nabi. Tetapi melalui penafsiran filosofis, agama menjadi selaras dengan filsafat.

... ... ... ...

Buku : History Of Muslim Philosphy
Suntingan : M.M Syarif M.A
Penerbit : Mizan
Tahun : Cetakan Ke VII 1994

No comments