Filsafat Muslim : Filsafat - filsafat Miskawaih





1. Filsafat Pertama Miskawaih

Bagian terpenting kegiatan filosof Miskawaih ditujukan kepada etika. Ia seorang moralis dalam arti sebenarnya. Tiga bukunya yang penting tentang etika telah sampai kepada kita, yaitu:

(1) Tartib al-Sa’adah,

(2) Tahdzib al-Akhlaq, dan

(3) Jawidan Khirad.


Buku Miskawaih al-Fauz al-Asghar merupakan sebuah risalah umum yang mempunyai konsepsi yang sama dengan bagian pertama buku al-farabi Ara’ Ahl al-Madinah al-Fadhilah. Buku ini dibagi menjadi tiga bagian. Bagian pertama berkenaan dengan pembuktian akan adanya Tuhan bagian kedua tentang ruh dan ragamnya, dan bagian ketiga tentang kenabian.

Mengenai filsafat-filsafatnya ia banyak berutang kepada al-Farabi, terutama dalam mempertemukan ajaran-ajaran Plato, Aristoteles dan Plotinus. Peralihannya kepada pemikiran-pemikiran sejarah telah memberinya manfaat yang bedar, karena pada umumnya ia dapat mengutip sumber-sumber secara tepat.

Misal pada akhir Bab V bagian pertama dari al-Fauz al-Asghar, ia terus terang mengakui berutang kepada Porphyry. Tulisan-tulisannya merupakan penyingkap (hal.553 -55) terbaik pembuktian Plato tentang kekelanan ruh. Ia mengambil manfaat, terutama dai buku-buku Proclus yang berjudul Kitab Syarch Qaul Flatun fi al-Nafs Ghair Maitah.

Bagian pertama di Fauz al-Asghar yagn memaparkan kemaujudan Tuhan adalah jelas, ringkas dan padat. Argumennya di sini menyangkut Penggerak Pertama (First Mover) yang sangat populer pada masa itu. Dalam hal ini, ia sepenuhnya pengikut Aristoteles.

Sifat-sifat dasar Tuhan ialah:
Esa, abadi dan non materi.

Miskawaih menggunakan keseluruhan bab VIII untuk membahas definisi Tuhan secara positif atau pun negatif, dia menyimpulkan bahwa cara negatif adalah cara yagn paling mungkin. Ia juga menunjukkan kecenderungan Neo Platonis yang mencolok pada Bab IX. Ia mengatakan bahwa kemaujudan pertama yang memancar dari Tuhan ialah Integensi Pertama yang (Miskawaih mengatakannya agak ganjil) sama dengan akal aktif. Ia kekal, sempurna dan tak berubah, karena “pemancaran terus menerus berhubungan dengannya dan kekal, sedang sumber pemacaran itu kekal”. Ia sempurna dibandingkan yang lebih rendah daripadanya dan tidak sempurna dibandingkan Tuhan.

Kemudian turunan ruh dari langit ke intelegensi; ia memerlukan gerak sebagai ekspresi hasrat kesempurnaan dalam meniru intelegensi. Tetapin ia sempurna dibandingkan benda-benda alam. Lingkungan mewujuud melalui ruh langit. Dibandingkan ruh, ia tidak sempurna dan oleh karena itu ia memerlukan gerak fisik, yaitu gerak dalam ruang. Lingkungan bergerak melingkar menunjukkan kekekalan kemaujudannyayang telah ditentukan oleh Tuhan.

Melalui lingkungan dan bagian-bagiannya tubuh-tubuh kita mewujud. Keberadaan kita sangat rapuh karena adanya rantai penjang perantara antara Tuhan dan kita. Dengan alasan ini pula, maka tubuh kita berubah dan fana. Segala kemaujudan mewujud melalui Tuhan, dan pemancaran serta daya tembus-Nyalah yang memelihara tatanan di dalam kosmos ini. Bila Tuhan tidak memberikan pemancaran-Nya, maka tidak akan ada kemaujudan.

Sebagai pemikir religius sejati, Miskawaih mencoba membuktikan bahwa ciptaan bermula dari ketidak adaan. Ia menyebutkan bahwa Galen mengatakan sesuatu yang bertentangan dengan pendapat ini, tetapi dibantah oleh Alexander dari Aphrodisias dalam uraian khusus.

Alasan Miskawaih sebagai berikut:
Pertama, bentuk-bentuk saling menggantikan, tetapi dasarnya tetap kosntan. Dalam perubahan ini, dari satu bentuk ke bentuk lain, ke manakah perginya bentuk yang pertama itu? Dan bentuk tidak dapat bersatu, sebab mereka itu berbeda.

Kedua, bentuk pertama tidak dapat ke lain tempat, karena gerak di tempat berlaku bagi tubuh dan kemaujudan tak dapat berpindah dari satu tempat ke tempat lain. Hanya ada satu kemungkinan, yaitu bahwa bentuk pertama menjadi tiada. Bila terbukti bahwa bentuk pertama menjadi tiada, maka bentuk kedua mewujud.

Demikian bentuk ketiga, keempat dan seterusnya, dari ketiadaan. Karena itu, segala kemaujudan berasal dari ketiadaan.

Aristoteles, memandang alam semesta sebagai suatu proses penjadian. Hakikat setiap sesuatu merupakan suatu daya yang berproses menjadi aktual yang merupakan hakikat akhirnya. Geraknya menuju akhir bersifat tetap. Suatu teori yang keseluruhannya berbeda terdapat pada Surat kelima puluh Ikhwan al-Shafa, yang di dalamnya ditunjukkan proses evolusi dari mineral sampai manusia di bawah bimbingan jiwa untuk kembali kepada Tuhan.

Ikhwan al-Shafa menggunakan teori ini untuk menentukan status kenabian. Miskawaih beranjak lebih jauh dan menemukan di dalamnya suatu dasar yang kukuh bagi teorinya, tentang moral. Sebagaimana Aristoteles, ia menganggap kebahagiaan (sa’adah) sebagai puncak kenabian manusia, tetapi tidak seperti Aristoteles, ia mencirikan kebahagiaan sebagai akhir pencapaian manusia sebagai khilafah Tuhan di muka bumi, tempat manusia mengalami evolusi kosmis di bawah rasionalitasnya.

Teori Miskawaih tentang teori evolusi secara mendasar sama dengan teori Ikhwan al-Shafa. Teori ini terdiri atas empat tahapan evolusi:

Evolusi mineral, tetumbuhan, binatang dan manusia, karang (marjan), kurma dan kera (gird) menunjukkan secara berurutan peralihan dari mineral ke tetumbuhan, dari tetumbuhan ke binatang, dan dari binatang ke manusia. Akhirnya nabi menyempurnakan siklus Kemaujudan dengan mereguk ruh surgawi pada dirinya.

Psikologi Miskawaih bertumpu pada ajaran spiritualistis tradisional Plato dan Aristoteles dengan kecenderungan Platonis. Ia menulis masalah ini dalam al-Fauz dan al-Tahdzib al-Akhlaq.

Pada karya pertama, ia membahas masalah ini secara lebih menyeluruh. Tetapi beberapa kali ia mengulangi sendiri tentang banyak hal dalam kedua buku itu dalam kedua buku itu kita mempunyai alasan serupa, contoh-contoh serupa dan hampir kata-kata serupa.

Trhadap kaum materialis, ia membuktikan adanya ruh dengan dasar bahwa pada diri manusia terdapat sesuatu yang memberi tempat bagi perbedaan dan bahkan pertentangan bentuk dalam waktu yang bersamaan. Tetapi sesuatu itu tidak dapar berupa materi, karena materi hanya menerima satu bentuk dalam waktu tertentu.

Ruh mencerap hal-hal sederhana dan kompleks, yang ada dan yang tidak ada, yang terasakan dan yang terpikirkan. Tetapi, apakah ia mencerap semua itu melalui satu atau banyak unsur (faculty)? Ruh tidak mempunyai unsur unsur-unsur hanya teradpat pada materi. Apakah ruh, meskipun hanya satu dan tak dapat dibagi-bagi, mencerap sesuatu yang berbeda dengan sikap yang berbeda dan cara yang berbeda pula?

Dalam menjawab pertanyaan ini, Miskawaih memberikan dua jawaban berlainan: pertama dari Plato, yang mengatakan bahwa yang serupa mencerap yang serupa, dan kedua dari Aristoteles, yang mengatakan bahwa ruh mempunyau satu unsur yang mencerap materi yagn kompleks dan non materi yang sederhana, tetapi dengan cara berlainan. Dalam kaitan ini, Miskawaih menyebutkan Themistius dan bukunya Tentang Ruh.

Mengenai keabadian ruh, Miskawaih memberikan jawaban mula-mula dengan doktrin Aristoteles. Kemudian (pada Bab VI) ia memberikan tiga alasan dari Plato pertama ia mengutip Plato sendiri, kedua, tulisan Proclus Komenter terhadap Dontrikn Plato tentang keabadian Ruh, dan ketiga, sesuatu yang telah dikatakan oleh Galen mengenai hal ini.

Miskawaih mengatakan bahwa doktrin Plato sangat panjang dan memerlukan komentar karena itu, ia berusaha meringkasnya sejelas mungkin dengan bantuan Komentar Proclus. Di sini dan pada Bab-bab berikutnya ( VII, VIII) dia sepenuhnya Platonis dan menyebutkan secara khusus Hukum dan Timaeus Plato. Plato mengatakan bahwa esensi ruh adalah gerak, sedang gerak adalah kehidupan ruh.



Miskawaih menerangkan dan berkata:

Gerak ini terdiri atas dua macam: pertama, gerak ke arah intelegensi, dan kedua gerak ke arah materi yang pertama diterangi, sedang yang kedua menerangi. Tetapi gerak ini kekal dan tidak di dalam ruang, dan oleh karena itu, ia tidak berubah. Melalui gerak pertama, ruh mendekati intelegensi, yang merupakan ciptaan pertama, sedang lewat gerak kedua, ia keluar dari dirinya. Karena itu, ruh lebih mendekati Tuhan melalui gerak pertama dan menjauh lewat gerak kedua. Yang pertama membawa keselamatan dirinya, sedang yang kedua kebinasaan.

Dengan mengutip Plato, ia mengatakan bahwa fislafat merupakan suatu penerapan berdasarkan kemauan.
Ada dua macam kehidupan:

Pertama, kehidupan yanbg sesuai dengan intelegensi, yaitu “kehidupan alamiah”, dan kedua, kehidupan menurut materi, yaitu kehidupan berdasarkan kemauan.

Demikian pula dengan kematian karena itu Plato mengatakan: Jika Anda mati berdasarkan kemauan, maka Anda hidup secara alamiah. Di sini “kemauan” diartikan sebagai “hasrat”.

Tetapi, Miskawaih sekaligus mengoreksi sendiri dengan mengatakan bahwa mati berdasarkan kemauan ini bukan berarti penolakan terhadap dunia hal itu merupakan sikap mereka yang tak tahu apa-apa tentang dunia ini dan mengabaikan kenyataan bahwa mansuia secara fitrah beradab dan tidak dapat hidup tanpa yang lain.

Mereka, yang mengabaikan masalahdunia, sangat tidak adil, karena mereka menginginkan layanan yang lain tanpa bersedia melayani yang lain, dan inilah ketidak adilan sejati. Beberapa orang menyangka bahwa mereka hanya memerlukan sedikit, tetapi, meskipun hanya sedikit, namun mereka tetap membutuhkan layanan banyak orang.

Karena itu, wajib bagi setiap manusia melayani yang lain bila ia banyak melayani, maka ia dapat menuntut banyak, tetapi bila ia hanya melayani sedikit, maka ia hanya dapat meminta sedikit.

Inilah satu segi penting dari pandangan filosofis Miskawaih dan hal ini menunjukkan perhatiannya yang besar di bidang etika.



2. Filsafat MoralFilsafat moral sangat berkaitan dengan psikologi, sehingga Miskawaih memulai risalah besarnya itu dengan akhlak. Tahdzib al-Akhlaq, dengan menyatakan doktrinnya tentang ruh. Di sini penerapannya kirang filosofis, tetapi sangat terinci.

Masalah peralihan dari psiklologi ke akhlak disajikan pada halaman 18 hingga 21, yang, dengan mengikuti Plato, ia memperssamakan pembawaan-pembawaan ruh dengan kebajikan-kebajikan. Ruh mempunyai tiga pembawaan: Rasional, keberanaian, dan sederhana. Dengan keberkaitan ketiga hal itu, kita dapat memperoleh yang keempat, yaitu: keadilan.

Orang-orang Yunani bersifat teoritis dan spekulatif, sehingga Plato tidak dapat beranjak lebih jauh dari itu. Dengan memakai aturan pribadi moral, Miskawaih membagi kebijaksanaan menjadi tujuh: ketajaman itelegensi, kesigapan akal, kejelasan pemahaman, fasilitas perolehan, ketepatan dalam membedakan, penyimpanan dan pengungkapan kembali.

Sebelas bagian dalam keberanian, yaitu: kemurah hatian, kebersamaan, kesabaran, kerendahhatian, semangat dan kepengampunan.

Duabelas dalam kesederhaan, yaitu: malu, ramah, benar, damai, menahan diri, sabar, berarti, tenang, saleh, keteraturan, menyeluruh dan kebebasan (yang dibagi lagi menjadi enam).

Dan sembilan belas bagian dalam keadilan, yaitu: persahabatan, persatuan, kepercayaan, kasih sayang, persaudaraan, pengajaran, keserasian, hubungan yang terbuka, ramah tamah, taat, penyerahdirian, pengabdian kepada Tuhan, meninggalkan permusuhan, tidak membicarakan sesuatu yang menyakiti orang lain, membahas sifat keadilan, tak mengenal ketidakadilan, dan lepas dari mempercayai yang hina, pedagang yang jahat dan penipuan.

Tetapi, kita tidak dapat menentukan secara pasti apakah pembagian-pembagian dan pembedaan-pembedaan ini hanya dilakukan oleh Miskawaih.

Tentu ia banyak memperoleh manfaat bagi dirinya dari para pendahulunya, terutama dari jalur abu sulaiman al-Sajistani al-Mantiqi, yang gema karya-karyanya kita temukan dalam Muqabasat-nya Tauhid.

Sejauh ini Msikawaih dalah Platonis, tetapi sejak halaman 29, ia menjadi Aristotelian dan menganggap kebajikan sebagai jalan tengah di antara dua kejahatan. Ia menggunakan doktrin ini untuk mengartikan empat kebajikan utama, dan dengan ini pula ia mengakhiri bab pertama.

Pada bab kedua, Miskawaih mulai membahas fitrah manusia dan asal-usulnya, baik yang lahir dalam keadaan baik maupun jahat. Ia mengutip pendapat orang-orang Yunani terdahulu bahwa fitrah itu tak pernah berubah, tetapi ia menolak pendapat itu. Kemudian ia mengambil pendapat Stoa yang menyatakan bahwa manusia diciptakan dalam keadaan baik, tetapi kemudian menjadi jahat karena kecenderungan mereka kepada nafsu jahat dan memelihara persekutuan jahat itu.

Ada pula pendapat ketiga, yang mengatakan bahwa manusia diciptakan dalam keadaan buruk dan mereka dapat berubah menjadi baik hanya bila dengan pendidikan. Galen menolak dua pendapat terakhir dan mengatakan bahwa manusia terdiri atas tiga macam : ada yang secara fitrah baik, ada yang secara fitrah buruk dan yang ketiga di antara keduanya.

Akhirnya, Miskawaih menyatakan pendapat Aritoteles dalam Nicomachean Ethics dan pendapatnya sendiri bahwa “adanya manusia bergantung kepada kehendak Tuhan, tetapi perbaikannya diserahkan kepada manusia sendiri dan bergantung kepada kemauan sendiri.”

Kesempurnaan yang dapat dicapai ada dua macam: pertama kesempurnaan teoritis dan kedua, kesempurnaan praktis. Dengan kesempurnaan pertama, ia akan memperoleh pengetahuan yang sempurna, dan dengan kesempurnaan kedua, ia akan memperoleh kepribadian yang sempurna. Manusia mempunyai tiga pembawaan yang tertinggi, ialah akal, yang ternedah ialah nafsu, dan diantara keduanya terletak keberanian. Manusia pada mulanya adalah manusia.

Dengan demikian, kesempurnaan manusia terutama bergantung kepada jiwa rasional. Pada setiap pembawaan terdapat banyak tingkatan, yang oleh Miskawaih dijelaskan secara terinci. Di sini (hal. 67-78) kita dapati suatu bab yang panjang tentang pendidikan anak dan remaja.

Bagian utama etika Miskawaih dimulai dari bab ketiga *(hal 90, dan seterusnya). Petama-tama, ia mengikuti Aristoteles, sebagaimana dikomentari oleh Porphyry. Tampaknya ia sepenuhnya bergantung kepada komentar Porphyry terhadap tulisan Aristoteles Nicomachean Ethics yang telah diterjemahkan ke dalam bahasa Arab oleh Ishaq ibn Hunain dalam dua belas jilid.

Tetapi sayang komentar ini hilang, baik yang berbahasa Yunani maupun yang berbahasa Arab. Tapi dapat kita kumpulkan sesuatu dari bentuknya dari Tahdzib al-Akhlaq-nya Miskawaih.

Mengikuti Aritoteles, Miskawaih mengatakan (hal. 90) bahwa kebaikan terletak apda segala yang menjadi tujuan. Definisi ini diperkirakan mungkin berasal dari Eudoxus (sekitar tahun 25 S.M.), yang disajikan di bagian awal dari Nicomachean Ethics. Selanjutnya Miskawaih mengatakan bahwa apa yang berguna magi mencapai tujuan ini adalah baik, misalnya sarana-sarana dan tujuan itu sendiri dapat disebut baik.

Tetapi kebahagiaan atau kebaikan merupakan suatu kebaikan yang relatif – bagi pribadi. Itu hanyalah satu macam kebaikan yang tidak mempunyai hakikat tersendiri dan berdiri sendiri.

Miskawaih, sebagaimana Aristoteles, mengelompokkan kebahagiaan, tetapi menambahnya secara lebih terperinci, yang mungkin diambil dari komentar Porphyry. Pengelompokkan ini terdiri atas,
(1)  kesehatan,
(2)  kekayaan,
(3) kemasyhuran dan kehormatan,
(4) keberhasilan dan
(5) pemikiran yang baik.

Setelah memaparkan pendapat-pendapat Hypocrates, Pythagoras, Plato, kaum Stoa dan beberapa dokter yang percaya bahwa tubuh adalah bagian dari manusia dan bukan alat bagi manusia; karena itu kebahagiaan ruh tidak akan lengkap bila tidak disertai kebahagiaan tubuh.

Miskawaih membahas doktrin-doktrin yang berlainan dan menyimpulkan dengan mengatakan bahwa kita mesti menolak ajaran yang mengatakan bahw kebahgiaan hanya dapat diperoleh setelah mati, dan menekankan bahwa hal itu dapat pula dicapai di dunia ini. Kebahagiaan tidak dapat dicapai kecuali dengan mengupayakan kebaikan di dunia dan akhirat. Di sini ia menegaskan lagi Anschauung-nya. Tetapi sebagai seorang religius sejati, ia lebih memilih akhirat.

Untuk menguatkan ini, ia mengutip suatu artikel diterjemahan Abu Utsman al-Dimasqi yang berjudul Keutamaan Ruh yang ditulis oleh Aritoteles. Kita tidakd apat menemukan tulisan Aristoteles ini di tempat lain.

Ada dua macam kebahagiaan di akhirat, tetapi tak seorang pun dapat memeproleh kebahagiaan yang kedua tanpa melalui kebahagiaan yang pertama. (Hl. 111), karena, sebagaimana dikatakan oleh Aristoteles, kebahagiaan ukhrawi mekipun kedudukannya lebih tinggi dan lebih mulia, memerlukan kebahagiaan dunia, jika tidak ia akan tetap tak teraih.

Bab empat, terutama memuat keadilan dan penjelasan secara terinci tentang arti keadilan itu. Di sini ia kembali mengikuti bagian-bagian dalam Nicomachean Ethics-nya Aritoteles.

Pada bab lima, ia membahas persahabatan dan cinta. Hal yang menarik pada bagian ini ialah tentang dua macam cinta. Hal yang menarik kepada Tuhan, dan (b) cinta murid kepada guru.

Cinta macam pertama sangat sulit dicapai oleh makhluk yang fana, dan cinta ini hanya bagi sebagian kecil. Sedang untuk cinta macam kedua, Maskawaih mempersamakan cinta anak kepada orang tuanyadengan cinta murid kepada guruny, dan ia berpendapat bahwa cinta yang terakhir ini lebih mulia dan lebih pemurah. Karena guru mengajar ruh kita dan dengan petunjuk mereka kita memperoleh kebahagiaan sejati.

Guru adalah “bapak ruhani dan orang yang dimuliakan; kebaikan yang diberikan kepada muridnya merupakan kebaikan ilahiah, karena ia membawanya kepada kearifan, mengisinya dengan kebijaksanaan yang tinggi dan menunjukkan kepada muridnya kehidupan yang tinggi dan menunjukkan kepada muridnya kehidupan dan keberkatan yang abadi.” (hal.175).

Pershabatan, secara umum, merupakan hal paling suci dan bermanfaat bagi manusia. Penghianat lebih jahat daripada pemalsu uang. Orang yang baik adalah sahabat bagi dirinya sendiri, dan yang lain juga merupakan teman baginya ia tidak mempunyai musuh kecuali orang yang jahat.

Orang yang bahagia adalah orang yang mempunyai sahabat dan berusaha agar dirinya bermanfaat bagi mereka. Miskawaih mengutip pendapat Aritoteles yang mengatakan bahwa manusia itu membutuhkan teman dalam hidupnya, dalam keadaan baik ataupun dalam keadaan buruk. Bahkan seorang raja pun memerlukan teman.

Karena ia tidak akan dapat mengetahui kebutuhan rakyatnya kecuali melalui teman-teman dekatnya, sebab mereka itu akan memberikan keterangan dan membantu melaksanakan perintah-perintahnya. Manusia harus bekerja sebaik-baiknya untuk membahagikan teman-temannya dan selalu beruat baik kepada mereka tanpa beruat munafik dan mengambil muka.

Secara umum, tulisan Miskawaih tentang keadilan (‘adl)bersifat Aristoteles – meskipun baginya – kebajikan ini merupakan suatu bayangan dari keesaan tuhan, keseimbangan sejati. Pengetahuan tentang cara atau batas setiap persoalan merupakan prasyarat dari keadilan, tetapi berbeda dengan Aristoteles, ia berpedanapat bahwa keadilan merupakan fungsi kehendak Ilahiah bukan sekedar pemikiran rasional dan sikap kehati-hatian.

Seorang raja, sebagai khalifah Tuhan, dapat melaksanakan kebijaksanaan secara terinci sesuai dengan keadaan waktu dan tempat tanpa merusak nilai-nilai kehendak ilahiah. Aristoteles mengakui kebajikan secara samar-samar dalam bentuk kebebasan yang tidak sempurna. Ia berpendapat bahwa hal itu berarti memberi “orang yang layak, dalam proporsi dan waktu yang tepat.”

Sedang bagi ibn Miskawaih, hal itu merupakan keberlihan terhadap keadilan dan dapat menghilangkan segala kemungkinan meremehkan keadilan itu sendiri, asalkan efek prasangkanya terbatas pada aorang yang baik itu saja, dan penerima itu sendiri merupakan suatu pilihan yang layak untuk itu.

Dengan demikian, kemurahhatian merupakan suatu bentuk keadilan yang aman dari gangguan. Begitu pula cinta, menurutnya, bukanlah perluasan dari cinta diri, sebagaimana dikemukakan Aristoteles, tetapi suatu batasan dari cinta diri dan cinta untuk yang lain.

Ia memandang rasa cinta (mahabbah)sebagai kapasitas fitrah untuk bersekutu dengan manusia secara umum, tetapi membatasi persahabatan (shadaqah) pada beberapa individu, dengan mendasarkan pada pertimbangan kuntungan, kesenangan, atau kebaikan sebagaimana dicerap oleh Aristoteles.

Cinta (‘Isyq) yang merupakan hasrat berlebihan terhadap kesenangan - pertimbangan keuntungan bertentangan dengan cinta - tak dapat melampaui dua individu. Obyek cinta hewani yakni kesenangan, sedang obyek cinta spiritual yakni kebajikan atau kebaikan. Cinta hewani adalah tercela dan diharamkan, sedang cinta ruhani patut dipuji.

Dia menyebutkan secara spesifik cinta manusia kepada Tuhan, cinta murid kepada guru dan cinta anak kepada orang tua secara bertingkat-tingkat sebagaimana ditunjukkan di atas. Ia menyimpulkan bahwa keadilan dapat mewujud melalui rasa takut dan kekuatan, sedang cinta kasih merupakan suatu sumber alami kesatuan, sehingga, keadilan tidak diperlukan bila cinta kasih telah unggul.

Dengan demikian, cinta kasih berdaulat, sedangkan keadilan adalah wakilnya.

Sebagaimana dalam al-Fauz al-Asghar, dalam Tahdzib al-Akhlak (Hal.195 – 96) pun, Miskawaih menentang segala bentuk kehidupan kepertapaan, karena kepertapaan “menjauhkan diri dari segala kebajikan moral yang telah disebut di atas.

Bagaimana bisa orang ayng memisahkan diri dari orang lain dan hidup menyendiri menjadi bersahaja, adil, murah hati atau berani? Apakah ia itu bukan organik dan tidak mati?” kebahagiaan ilahiah merupakan tujuan akhir dan kebaikan manusia. Kebahagiaan ilahiah dimiliki oleh bagian suci manusia. Ia merupakan kebaikan sejati, sedang akal merupakan kebaikan pertama.


... ... ... ... ... ... ...

Buku : History Of Muslim Philosphy
Suntingan : M.M Syarif M.A
Penerbit : Mizan
Tahun : Cetakan Ke VII 1994

No comments