Filsafat Tentang wujud Ibnu Sina (370/980 – 428/1037)

Doktrin Tentang Wujud


Doktrin Ibn Sina tentangn Wujud, sebagaimana para filosof Muslim terdahulu, misalnya al-Farabi, bersifat emanasionistis. Dari Tuhanlah, Kemaujudan Yang Mesti, mengalir intelegensi pertama, sendirian karena hanya dari yang tunggal, yang mutlak, sesuatu dapat mewujud, tetapi sifat intelegensi pertama itu tidak selamanya mutlak satu, karena ia bukan ada dengan sendirinya, ia hanya mungkin, dan kemungkinannya itu diwujudkan oleh Tuhan.

Berkat kedua sifat itu, yang sejak saat itu melingkupi seluruh ciptaan di dunia, intelegensi pertama memunculkan dua kemaujudan yaitu:

(1) intelegensi kedua melalui kebaikan ego tertinggi adanya aktualitas, (2) lingkung pertama dan tertinggi berdasarkan segi terendah dari adanya, kemungkinan alamiahnya. Dua proses pemancaran ini berjalan terus sampai kita mencapai intelegensi kesepuluh yang mengatur dunia ini, yang oleh kebanyakan filosof Muslim disebut Malaikat Jibril.

Namun ini diberikan, karena ia memberikan bentuk atau “memberitahukan” materi dunia ini, yaitu materi fisik dan akal manusia. Karena itu, ia juga disebut “Pemberi Bentuk: (dator formarum menurut sarjana-sarjana Barat abad pertengahan). Kami akan kembali kepada intelegensi-intelegensi lingkungan-lingkungan ini untuk meneliti lebih mendalam sifat-sifat alamiah dan cara kerjanya, sementara itu kami harus beralih kepada sifat wujud.

Perarakan intelegensi imaterial dari Wujud Tertinggi dengan cara pemcaran dimaksudkan untuk menambah sesuai dengan pendapat, yang diilhami oeh Teori Pemancaran Neo-Platonik – pendapat yang lemah dan tak dapat dipertahankan tentang Tuhan dari Aristoteles yang mengatakan bahwa tidak ada terusan dari Tuhan Yang Esa, kepada dunia, yang banyak.

Menurut para filosof Muslim, meskipun Tuhan tinggal di dalam diri-Nya Sendiri dan jauh tinggi di atas dunia yang diciptakan, tetapi terdapat hubungan perantara antara kekekalan dan keniscarayaan yang mutlak dari Tuhan dan dunia yang penuh dengan ketidaktentuan.

Di samping itu, teori ini sangat dekat bagi orang Islam atas keyakinannya kepada para Malaikat. Inilah kesempatan pertama untuk menandai bagaimana para filosof Muslim, dengan cara mengolah kembali tradisi filsafat Yunani, tidak hanya membangun sistem yang rasional, tetapi juga sistem rasional yang berupaya mengintegrasikan tradisi Islam.

Tetapi bagaimana teori pemancaran itu sendiri? Apakah hal itu tidak akan merusak garis pemisah yang perlu dan penting antara pencipta dan yang diciptakan, dan mengarahkan kepada pandangan dunia yang Panteistik – tat tvam Asi – yang bertentangan dengan Islam, sebagaimana semua agama yang lebih tinggi selalu menentangnya demikiian keras? Tak diragukan lagi, bentuk-bentuk Panteisme menjadi lebih dinamis, berbeda dengan paham para absolutis dan bentuk-bentuk panteisme statis bahkan ia dapat mengarahkan kepada antropomorphisme, atau proses kenaikan kembali, untuk penyerapan kembali dari kemakhlukan ke arah ke-Tuhan-an.

Sekarang tanggungan untuk melawan bahaya seperti itu terletak pada doktrin Ibnu Sina tentang esensi dan eksisteni. Hal ini melahirkan teori lagi yang dirancang untuk memenuhi kedua kebutuhan rasional dan agama, dan satu lagi untuk kelengkapan bagi Aristotele.

Pada awal bagian ini, kami mengatakan bahwa Tuhan, dan hanya Tuhan saja yang memiliki wujud tunggal, secara mutlak, sedang segala sesuatu yang lain memiliki kodrat yang mendua. Karena ketunggalannya, maka apakah Tuhan itu, dan kenyataan bahwa Ia ada, bukanlah dua unsur dalam satu wujud tetapi satu unsur atomik dalam wujud yang tunggal. Tentang apakah Tuhan itu, hakikat Dia, adalah identik dengan eksistensi-Nya.

Hal ini bukan merupakan kejadian bagi wujud lainnya. Karena tidak ada kejadian lain, misalnya seorang Eskimo yang tidak pernah melihat gajah, ia tergolong salah seorang yang berdasarkan kenyataan itu sendiri mengetahui bahwa gajah itu ada. Demikian halnya, adanya Tuhan adalah sati keniscayaan, sedang adanya sesuatu yang lain hanya mungkin dan diturunkan dari adanya.

Tuhan, dan dugaan bahwa Tuhan itu tidak ada mengandung kontradiksi, karena dengan demikian yang lainpun tidak akan ada. Argumentasi kosmologis yang didasarkan pada doktrin Airtoteles tentang Sebab Pertama, akan sia-sia dalam membuktikan adanya Tuhan.

Meskipun demikian, Ibnu Sina tidak memilih untuk membangun argumen otologis. Argumentasi Ibnu Sina, sebagaimana akan kita lihat kemudian, yang menjadi doktrin penting bagi dogma teologi Katolik Roma sesudah Aguinas, lebih mendekati pembuktian Leibniz tentang Tuhan sebagai dasar akan adanya dunia, yaitu pemberian tuhan-lah, apa yang dapat kita mengerti tentang adanya dunia. Di sini, sebab-akibat mempunyai premis-premis dan kesimpulan-kesimpulan yang serupa.

Baca : Mengenal Ibnu Sina

Di samping ke belakang, yaitu juga ke depan, yaitu memulai dari premis yang tidak diragukan lagi kepada suatu kesimpulan. Sesungguhnya menuru Ibnu Sina, Tuhan menciptakan sesuatu karena adanya keeprluan yang rasional. Dengan dasar keperluan yang rasional ini, Ibnu Sina menjelaskan pra-pengetahuan Tuhan tentang semua kejadian, seperti apa yang kita lihat dalam pembahasannya tentang Tuhan.

Dunia, secara keseluruhan, ada bnukan karena kebetulan, tetapi diberikan oleh Tuhan, ia diperlukan, dan keperluan ini diturunkan dari Tuhan. Inilah prinsip Ibnu Sina tentang eksistensi secara singkat, sekarang kami menganalisanya menurut bahan-bahan yang komplek, yang telah diwariskan oleh Ibnu Sina kepada kita. Hal ini melibatkan beberapa sudut pandang.

Dari sudut pandang metafisik, teori ini berupaya melengkapi analisis Aristoteles tentang suatu maujud menjadi dua elemen yang diperlukan, yaitu bentuk dan materi.

Menurut Aristoteles, bentuk sesuatu adalah jumlah total dasar dan kualitas-kualitasnya yang dapat diuniversalkan yang membentuk definisinyal materi pada setiap sesuatu memiliki kemampuan untuk menerima kualitas-kualitas tersebut dan dengan bentuk itu, maka terjadilah eksistensi individu.

Tetapi terdapat dua kesulitan besar dalam kondep ini dari sudut pandang eksistensi sesuatu yang sebenar-benarnya. Pertama, bentuk adalah universal, karena itu, tidak ada. Demikian pula materi, sebagai wujud potensialitas murni, menjadi tidak ada, karena hal itu mewujud hanya melalui bentuk.

Kemudian, bagaimana sesuatu itu menjadi ada dengan tidak adanya bentukd an materi? Kesulitan kedua timbul dari kenyataan bahwa, meskipun Aristoteles secara umum berpendapat bahwa definisi atau esensi dari sesuatu adalah bentuknya, tetapi ia pada bagian-bagian penting lainyya (yaitu, De Anima, Vol. I, bab I, 403a.27 ff) bahwa materi juga termasuk dalam esensi sesuatu tersebut, dengan demikian, maka dapat dikatakan bahwa kita hanya memiliki definisi sebagian daripadanya.

Kemudian bila kata menganggap bentuk dan materi sebgai penyusun definisi, maka kita tidak akan mencapai eksistensi sesuatu secara nyata. Ini adalah batu ujian yang dihadapi oleh seluruh kerangka Aristoteles yang membahas tentang wujud yang terancam oleh kehancuran.

Karena itulah, kenapa Ibnu Sina berkeyakinan bahwa hanya dari bentuk dan materi saja anda tidak akan pernah mendapatkan eksistensi yang nyata., tetapi hanya kualitas-kualitas esensi kebeulan. Ia telah emnganalisa dala kesempatan yang panjang hubungan antara bentuk dan materi dalam al-Syifa (“Met” II, 4 dan “Met” VI, 1) di mana ia menyimpulkan bahwa bentuk dan amteri itu bergantung kepada Tuhan (atau akal aktif), dan lebih jauh lagi bahwa eksistensi yang tersusun juga tidak bisa hanya disebabkan oleh bentuk dan materi saja, tetapi harus terdapat “sesuatu yang lain”.

Akhirnya di dalam “Met” VIII, 5, ia menjelaskan kepada kita bahwa “Segala sesuatu kecuali yang Esa, yang esensi-Nya adalah Tunggal dam maujud, memperoleh eksistensinya dari sesuatu yang lain ..... Di dalam dirinya sendiri, ia layak untuk mendapatkan ketidakadaan yang mutlak.

Sekarang, ia bukan amteri sendiri tanpa bentuknya, atau bentuks endiri tanpa materinya yang layak mendapatkan ketidakadaan itu, tetapi adalah semuanya (bentuk dan materi). Inilah sebabnya kenapa Ibnu Sina menggunakan tiga acuan untuk menganalisa adanya obyek materi, di samping keuda rumusan tradisioanl Yunani itu.

Baca : Filsafat Jiwa Ibnu Sina

Harus dicatat bahwa apa yang dikembangkan di sini adalah doktrin Aristoteles. Banyak sarjana yang berkeyakinan bahwa Ibnu Sina di sini, mengikuti pendapat Aristoteles dan Neo-Platonik, tetapi dari segi lain, ternyata doktrin Noe-Platinik itu adalah sama dengan Aristoteles, yaitu dua bagian yang terdiri atas materi dan bentuk, kecuali itu, menurut Plotinus yang terpengaruh oleh Plato, bentuk-bentuk itu mempunyai status ontologis yang lebih tinggi dan ada dalam kesadaran Tuhan, dan kemudian Ia-lah yang melanjutkan sehingga bentuk ada sebagai sebagai materi.

Oleh karena itu, dapatlah dibayangkan bahwa eksistensi sesungguhnya bukanlah bentukan benda, tetapi ia lebih merupakan hubungan dengan Tuhan: Bila Anda memandang benda dalam kaitannya dengan adanya perantara Tuhan yang mengadakan, maka benda itu ada, dan benda itu ada karena keniscayaan, kemudian, eksistensinya itu dapat dipahami, tetapi bila keluar dari hubungannya dengan Tuhan, maka adanya sesuatu itu hilanglah pengertian dan maknanya. Inilah aspek hubungan yang ditunjukkan oleh Ibnu Sina dengan istilah “kejadian” dan mengatakan bahwa eksistensi itu adalah suatu kejadian.

Sejak Ibnu Rusyd mengkritik, yang dalam beberapa hal, menyalahkan Ibnu Sina yahng menolak definisi tentang substansi sebagai sesuatu yang ada dengan sendirinya Aquinas yang walau pun menerima pembedaan antara esensi dan eksistensi yang secara langsung di bawah pengaruh Ibnus Sina yang juga mengkritik sesuai dengan Ibu Rusyd, meskipun ia sendiri mengambil pendapat Ibnu Sina tentang perbedaan dasar dan adanya sesuatu, mengakibatkan para ahli sejarah pada abad pertengahan di Barat berpendapat sama dengan Ibnu Sina, yaitu bahwa eksistensi sesuatu adalah semata-mata suatu kejadian di antara kejadian-kejadian yang lain.

Kami telah mengatakan bahwa Ibnu Sina membicarakan eksistensi sebagai suatu kejadian yang berhubungan dengan obyek (jika dibedakan dan esensinya), ia semata-mata mengartikannya sebagai hubungan dengan Tuhan karena itu, jika eksistensi adalah suatu kejadian (yang biasa), maka seseorang dapat memikirkannya dengan cara demikian dan tetap melanjutkan terus berbicara tentang obyeknya persis sebagaimana ia dapat melakukan untuk kejadian-kejadian lain dan, sungguh, dalam hal ini Ibnu Sina terpaksa (jika ia menerima bahwa eksistensi sebagai suatu kejadian) pendapat Moinongian yang juga diyakini oleh para Mutakallim Muslim bahwa ketidakadaan juga mesti “ada”.

Tetapi ini adalah doktrin yang mengandung tawa bagi Ibnu Sina. Pembahasan masalah ini secara keseluruhan dapat ditemukan di dalam artikel yang dikutip dalam catatan no.5 di dalam bab ini. Di sini kami hanya memberikan satu bagian, di mana filosof kita mengkritik pendapat orang-orang yang meyakini bahwa “benda” yang tidak ada, meskipun demikian, harus “ada” sehingga kita dapat membicarakannya. Ia mengatakan (“met”, I,5).

“Orang-orang yang puas dengan pendapat ini percaya bahwa di antara benda-benda yang dapat kita ketahui (misalnya, dengan mengenalnya) dan dapat kita bicarakan, adalah benda-benda yang berada dalam dunia ketidak beradaan, di mana sifat non-eksistensi merupakan suatu atribut, siapa ingin mengetahui lebih jauh tentang hal ini, ia harus memikirkan lebih jauh lagi tentang ketidakadaan yang telah mereka bicarakan dan yang tidak bermanfaat untuk dipertimbangkan."

Sesungguhnya, menurut Ibnu Sina, ide-ide tentang eksistensi dan kesatuan adalah ide-ide utama yang harus menjadi awal pembicaraan kita. Konsep-konsep yang tidak dapat diturunkan ini adalah dasar-dasar bagi kita untuk memberi kategori dan atribut lain kepada benda-benda dan karena itu, mereka menolak definisi, karena definisi harus menggunakan istilah-istilah dan konsep-konsep lain turunan. (ibid. I,5).

Sekarang akan tampak bahwa masalah itu bukanlah masalah metafisik, tetapi masalah logika. Ibnu Sina telah ebrusaha menjawab pertanyaan.

Bagaimana mungkin kita dapat membicarakan sesuatu yang tidak ada, dan kemudian apakah artinya? Jawabannya adalah kita dapat berbuat demikian, karena kita mengadakan obyek-obyek ini dalam pikiran kita.

Tetapi, tak daat diragukan lagi, bahwa imajinasi-imajinasi kita masing-masing tak dapat membentuk makna-makna dari wujud-wujud ini karena adanya alasan yang jelas bahwa, ketika membicarakan sesuatu, misalnya, kapal ruang angkasa, maka ia harus memberikan arti yang obyektif.

Meskipun demikian, benarlah bahwa Ibnu Sina telah melihat kualitas mendasar dari logika kemaujudan. Dan logika modern kita itu sendiri, yang memiliki teknik-teknik unfful dan corak-corak yang berati, tampak tak menyelesaikan masalah. Ia telah berusaha keras untuk menyanggah bahwa kapan pun saya berbicara tentang kapal ruang angkasa, meskipun kapal itu sendiri tidak ada, saya tidak sadar membicarakan “sesuatu” itu, tegapi tentang obyek secara umum atau suatu kumpulan sifat.

Tetapi apakah hal ini benar-benar begitu? Apakah musykil untuk mengatakan bahwa: kapal ruang angkasa yang sedang saya bicarakan itu memiliki sifat-sifat ini?” di samping itu, pokok masalahnya ialah kata-kata “kumpulan sifat” milik siapakah sifat-sifat itu, dan yang mana yang sedang saya bicarakan?

Di sampibng arti “kejaidna” ini sebagai hubungan yagn khas dan unik dari suatu maujud dengan Tuhan, istilah “kejadian” menurut Ibnu Sina memiliki pengertian filosofis lain yang tidak ortodok. Ia menyangkut hubungan suatu kemaujudan nyata dengan esensi atau bentuk-bentuknya, yang juga Ibnu Sina menyebutnya kejadian.

Penggunaan istilah “kejadian” adalah sangat menyeluruh dalam filsafat Ibnu Sina, karena itu, tanpa mengetahui artinya secara benar, orang akan salah tafsir terhadap doktrin-doktrin dasarnya.

Sekarang, bila dua konsep dapat dibedakan secara jelas, maka keduanya itu harus menunjukkan dua ontologis yang berbeda, sebagai yang telah kita katakan di atas, dan selanjutnya, bila dua konesp semacam itu bersama-sama mewujud dalam sesuatu, Ibnu Sina menggambarkan hubungan timbal-balik keduanya itu sebgai kejadian, yaitu, mereka menjadi bersama, meskipun masing-masing mewujud secara terpisah. Ini adalah hal, sebagai contoh, antara esensi dan kemaujudan, antara universal dan esensi.

Menurut Ibnu Sina, esensi mewujud dalam pikiran Tuhan ( dan dalam pikiran-pikiran intelegensi-intelegensi) sebelum hal-hal yang ada itu maujud di dalam dunia lahiriah, dan mereka juga ada dalam pikiran kita setelah mereka itu mewujud. Tetapi dua tingkat keberadaan esensi ini sangat berbeda. Dan perbedaan itu tidak hanya karena adanya pengertian bahwa yang satu bersifat kreatif, sedang lainnya bersifat imitatif.

Tetapi sesungguhnya, esensi itu tidak universal dan tidak pula khas, tetapi ia hanyalah esensi. Kemudian ia menyatakan (al-Syifa, “Pengantar menuju Logika, “kairo. 1952, hal. 65 – 69; juga, ibid, “Met V, 1) bahwa kekhasan dan universalitas adalah “kejadian” yang terjadi pada esensi.

Universalitas terjadi padanya hanya di dlam pikiran-pikiran kita, dan Ibnu Sina mengambil pandangan fungsional secara keras tentang yang universal: pikiran kita mengabstraksi yang universal atau konsep-konsepm umum, di manahal itu dapat merangkum keragaman yang tak terbatas dari dunia ini secara ilmiah, yaitu dengan menghubungkan bangunan mental yang identik dengan sejumlah obyek.

Di dunia lahiriah, esensi tidak maujud, kecuali dalam pengertian yang methaporik, artinya dalam pengertian bahwa obyek-obyek itu membiarkan dirinya untuk dianggap identik.

Kemaujudan-kemaujudan dalam dunia lahiriah adalah obyek-obyek nyata, tidak ada yang benar-benar sama. Ia berkata, “adalah tidak mungkin bahwa esensi yang tunggal sama mewujud dalam banyak hal” (“Met” V,2), demikian pula, “Kemanusiaan yang mutlak bukanlah kemanusiaan ‘Amr ia berbeda dengannya, lantaran keadaan-keadaan tertentu.

Keadaan-keadaan tertentu itu mempunyai peranan pada diri pribai Zaid ... demikian pula peranan apda ‘manusia’ atau ‘kemanusiaan sejauh keduanya itu berhubunbgan dengannya (“Met”, V, 2). Jelaslah terutama dari pernyataan terakhir, bahwa ‘esensi’ berubah pada setiap individu.

Karena itulah kenapa kita harus mengatakan bahwa bila menganggap esensi sebagai universal, maka keradaan tertentu yang nyata merupakan suatu yang melampaui dan di atas esensi ia adalah sesuatu yang ditambahkan pada esensi, atau suatu “kejadian” dari esensi tersebut.

Ada dua hal yang harus dicatat secara khusus di sini. Pertama, bahwa keberadaan adalah suatu yang ditambahkan, bukan pada obyek-obyek yang ada hal ini akan musykil tetapi pada esensi. Hal ini karena segala suatu apakah ia ada atau tidak, pada kenyataannya setiap konsep adalah “sesuatu” yang darinya pernyataan dapat dibuat, baik positif atau pun negatif.

Bahkan ketidak adaan pun adalah “sesuatu: sebab seseorang dapat membicarakannya. Tetapi keberadaan individu yang positif adalah lebih dari sekadar “sesuatu”. (Perbedaan antara “sesuatu” dan suatu kemaujudan, ditulis Ibnu Sina (“Met” I, 5), yang dengan cara yang membingungkan telah kembali dalam logika ekarang ini berasal daro Stooc (lihat, misalnya, Stoicorum Veterum Fragmentsa, Vol.II, hal. 117).

Karena Ibnu Sina mengatakan bahwa bila keberadaan dihubungkan dengan esensi, maka keberadaan ini sama dengan “adalah sesuatu” dan, karena itu, pernyataan-pernyataan semacam itu tidak menguntungkan.” Tetapi pernyataan-pernyataan tentang hal-hal yang ada adalah informatif dan menguntungkan, karena hal-hal itu menambah pada esensi seuatu yang baru.

Kedua, harus kita catat bahwa meskipun Ibnu Sina membicarakan materi itu pada beberapa tempat sebagai prinsip kemajemukan bentuk atau esensi, tetapi ia tidak pernah mengatakan bahwa materi itu adalah prinsip dari suatu yang maujud. Prinsip tunggal dari sesuatu yang ada adalah Tuhan. Penyebab kemaujudan materi adalah penyebab okasional kemaujudan, yang mensuplai sifat-sifat lahiriah kemajemukan.

Kami telah memberikan sejumlah kutipan penting dari Ibnu Sina tentang masalah ini, bukan hanya karena hal itu penting bagi filsafat Ibnu Sina, tetapi juga karena terdapatnya banyak kebingungan yang mendasar did alam tulisan tradisional yang membahas istilah “keberadaan”, “Kejadian” dalam hubungan ini, dan “esensi”, adalah mutlak perlu.

... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ...

Buku : History Of Muslim Philosphy
Suntingan : M.M Syarif M.A
Penerbit : Mizan
Tahun : Cetakan Ke VII 1994

No comments