Filsafat Muslim : Kumpulan Filsafat Al Farabi Bagian dua


4. Teori Tentang Akal
Teori psikologi Aristoteles telah lama terkenal sederhana dan tepat; dan sebagai suatu studi obyektif, ia tidak kurang diperhatikan.

Pengelompokan Aristoteles akan unsur-unsur jiwa adalah yang pertama dalam hal ini. Ia menekankah kesatuan meski terdapat kejamakan unsur jiwa dan menjelaskan pertaliannya dengan tubuh. Ia telah mengupayakan teori tentang Akal, meski tak memadai, sehingga menimbulkan masalah yang membingungkan yang modern dan yang kuno. Tetapi tulisannya “Perihal Jiwa”, merupakan karya terbaik di antara karya-karya kuno psikologi, bahkan melebihi beberapa karya modern. Pada abad-abad pertengahan, ia merupakan karya seopupler Organon.

Buku ini diperkenalkan kepada orang Arab melalui terjemahan bahasa Syria dan bahasa Yunani, berikut komentar-komentar kuno, terutama komentar-komentar Aleksander dari Pahridisias, Themistius, Simplicius. Ia merupakan subyek studi ekstensif filosof Muslim yang memberikan komentar dan uraian tentangnya. Terpengaruh oleh Aristoteles dan karyanya, para filosof ini ,menulis berbagai dalil dan uraian tentang psikologi. Mereka terutama memusatkan pada masalah akal yang merupakan salah satu di antara masalah-masalah yang dipelajari oleh para filosof skolastik.

Al-Farabi menyadari sepenuhnya arti masalah ini, dan melihat di dalamnya suatu ringkasan dari sepuluh Teori Ilmu Pengetahuan. Ia dengan baik mengindentifikasikannya dengan filsafatnya sendiri, karena berkaitan dengan Teori Sepuluh Intelegensi dan juga merupakan pondasi Teori Kenabian. Ia telah membahas masalah akal di beberapa tempat dalam karya-karyanya, dan ia telah mengupayakan suatu karya yang menyeluruh. “Perihal Aneka Makna Akal”. Karya ini tersebar luas di kalangan para sarjana Timur dan Barat Abad-Abad Pertengahan, dan diterjemahkan ke dalam bahasa Latin.

Al-Farabi mengelompokkan akal menjadi akal praktis yaitu yang menyimpulkan apa yang mesti dikerjakan; dan teoritis, yaitu yang membantu menyempurnakan jiwa. Akal teoritis ini dibagi lagi menjadi : yang fisik (material), yang terbiasa (habitual), dan yang diperoleh (acquired).

Filsafat Al Farabi Bagian Satu

Akt al-Farabi sebagai fisik, atau sebagaimana sering disebut sebagai akal potensial, adalah jiwa atau bagian jiwa atau unsur yang mempunyai kekuatan mengabstraksi dan mencerap esensi kemaujudan. Bila dibandingkan, maka ia hampir seperti materi yang atasnya bentuk-bentuk kemaujudan dapat dilukiskan tepat sebagaimana lilin yang atasnya dapat diukirkan tulisan. Maka pemahaman mewujud dalam bentuk daya dalam hal-hal yang dapat dirasa dan bila pemahaman dibawa ke dalam bentuk, maka akal ditransformasikan dari akal dalam bentuk daya ke akal dalam bentuk aksi.

Karena itu, akal dalam bentuk aksi, atau kadang disebut akal terbiasa, adalah salah satu tingkat dari tingkat-tingkat pikiran dalam upaya memperoleh sejumlah pemahaman. Karena pikiran tak mampu menangkap semua pengertian, maka akal dalam bentuk aksilah yang memebuat ia mencerap, dan akal dalam bentuk daya mengenai apa yang belum ia serap.

Sedang pemahaman itu sendiri berbentuk daya dalam yang dapat di rasa. Bagitu manusia memperoleh tingkat akal dalam bentuk aksi ini, maka ia dapat memahami dirinya. Pencerapan semacam ini tidak mempunyai kaitan dengan dunia luar, ini adalah pencerapan mental dan abstrak.

Begitu akal mampu mencerap abstraksi, maka ia naik lagi ke tingkat yang lebih tinggi, yaitu ke tingkat akal yang diperoleh (acuired intellect), yaitu suatu tingkat di mana akal manusia mengabstraksi bentuk-bentuk yang tidak mempunyai hubungan dengan amteri.

Perbedaan antara konsep rasional ini dan persepsi indrawi, yaitu bahwa yang pertama adalah semacam intuisi dan inspirasi, atau dengan kata lain, ia adalah semacam pencerapan langsung. Ini adalah tingkat pencerapan tertinggi manusia, dan ini hanya dapat dicapai oleh beberapa orang tertentu saja, yaitu mereka yang telah mencapai tingkat akal yang diperoleh, yang di dalamnya yang tersembunyi menjadi tersingkap dan langsung berhubungan dengan dunia intelegensi yang terpisah.

Dengan demikian, akal mampu meningkat secara bertahap dari akal dalam bentuk daya ke akal dalam bentuk aksi dan akhirnya ke akal yang diperoleh. Dua tingkat berurutan ini berbeda satu sama lain meskipun tingkat yang lebih rendah selalu bertindak sebagai pendahulu bagi tingkat yang lebih tinggi. Akal dalam bentuk daya hanyalah penerima bentuk-bentuk yang dapat di rasa, sedang akal dalam bentuk aksi mempertahankan pengertian-pengertian cerapan-cerapan. Dan akal yang diperoleh naik ke tingkat komuni ekstase dan inspirasi.

Baca Juga : Filsafat Alami Al Kindi

Konsepsi-konspesi mempunyai tingkatan yang berbeda mula-mula mereka merupakan pemahaman-pemahaman dalam bentuk daya yang maujud dalam materi, begitu tarabstraksi dari materi, maka mereka menjadi pemahaman-pemahaman dalam bentuk aksi. Yang lebih tinggi lagi ialah bentuk-bentuk abstraksi yang tidak pernah ada dalam materi.

Tetapi peningkatan bertahap ini tidak terjadi secara spontan, sebab tahap pertama adalah yang dapat di mengerti akal dalam bentuk daya dan peralihannya dari daya menjadi aktual tidak pernah dapat terjadi kecuali dipengaruhi oleh aktualitas pendahulu yang tindakannya sesuai dengannya. Aktualitas ini adalah intelegensi agen yang terakhir dari sepuluh intelegensi.

Pengetahuan manusia bergantung kepada radiasi intelegensi-intelegensi yang terpisah, dan intelegensi agen mempunyai hubungan dengan akal manusia sebagaimana hubungan matahari dengan mata kita, untuk dapat melihat, mata kita bergantung kepada sinar matahari, begitu pula akal kita, ia dapat mencerap hanya bila ia tersibakkan oleh intelegensi agen yang menerangi jalannya. Karena itu, mistisme berlebur dengan filsafat, dan pengetahuan rasional terjadi bersamaan dengan ekstase dan inspirasi.

Teori al-Farabi tentang akal sebagaimana disebutkan di atas secara jelas didasarkan pada Aristoteles. Al-Farabi sendiri secara tegas menyatakan bahwa teorinya itu bertumpu pada bagian ketika dari De Anima-nya Aristoteles, tetapi ia sendiri mempunyai andil dalam teori ini.

Konsepsinya tentang akal yang diperoleh (acquired intelect) berbeda dari Aristoteles, karena teori itu hampir tercirikan dengan intelegansi-intelegensi yang terpisah, dan bertindak sebagai penghubung antara pengetahuan manusia dan wahyu. Dengan demikian, berbeda dari teori Aleksander dari Aphrodisias dan al-Kindi dan itu adalah hasil dari kencenderungan mistis al-Farabi dan penyandarannya pada sistem Plotinus.

Fakta ini menjadi lebih jelas jika kita perhatikan pengaruh intelegensi agen dalam meraih pengetahuan, karena itu adalah hasil dari visi dan inspirasi itu juga memberi akal bentuk-bentuk abstrak dan mencerahkan jalan untuk itu. Teori ini membantu meleburkan psikologi dengan kosmologi, tetapi ia mengecilkan aktivitas akal manusia, karena ia menjadi mampu mencerap hanya bila dicerahkan oleh langit tetapi, apakah kaum Sufi memperhatikan ketaksempurnaan akal manusia?

Penerimaan secara umum atas teori ini pada Abad-abad Pertengahan tampak jelas dari kenyataan bahwa ibn Sina tidak saja memakai teori ini, tetapi juga menguatkan dan memperjelasnya dan ibn Rusyd, meski berpegang teguh kepada ajaran-ajaran Aristoteles, tetapi ia juga berada di bawah pengaruh teori itu.

Di antara orang-oran Yahudi, Maimonid-lah yang mengambil teori ini hampir secara harfiah. Dengan orang-orang kristen, teori ini berada di puncak masalah-masalah filsafat, karena ia menyangkut teori tentang pengetahuan dan berkaitan erat dengan doktrin kekekalan ruh.

Teori ini juga menyebabkan terjadinya berbagai macam aliran, beberapa di antaranya menerima dan beberapa yang lain menolaknya. Ringkasnya, Teori al-Farabi tentang akal adalah yang paling berarti di antara semua teori yang dikembangkan oleh pemikir-pemikir Muslim, dan telah memberikan pengaruh yang besar pada filsafat Kristen.


5. Teori tentang Kenabian

Dasar setiap agama langit adalah wahyu dan inspirasi. Seorang Nabi adalah seorang yang dianugerahi kesempatan untuk dapat langsung berhubungan dengan Tuhan, dan diberi kemampaun untuk menyatakan kehendak-Nya. Islam, sebagaimana "agama-agama langit lainnya" ( Menurut Mimin Ini adalah bentuk Doktrin Negatif ), mempunyai Tuhan sebagai penguasanya.

Al-Quran mengatakan:
“Ia tidak lain hanyalah wahyu yang diwahyukan --- Tuhan Yang Mahakuasa telah mengajarnya.” (QS. 53 – 4-5).

Adalah sangat perlu bagi filosof-filosof Muslim memberikan penghormatan kepada kenabian, merujukkan rasionalis dengan tradisionalisme, dan mewarnai bahasa-bahasa bumi dengan fiman Tuhan. Hal ini telah diupayakan oleh al-Farabi.

Teorinya tentang kenabian dapatlah dianggap sebagai usaha yang paling berarti dalam merujukkan agama dengan filsafat. Bahkan dapat juga dianggap sebagai bagian terutama dari sistem yang telah disusunnya, dengan landasan psikologi dan metafisika dan hal itu berkaitan erat dengan ilmu politik dan etika.

Terpengaruh oleh lingkungan politik dan sosialnya, al-Farabi menekankan studi teoritis tentang kemasyarakatan dan kebutuhannya. Ia telah menulis beberapa risalah tentang politik, yang paling terkenal di antaranya adalah “Kota Model”. Ia menggambarkan kotanya sebagai suatu keseluruhan dari bagian-bagian yang terpadu, serupa dengan organisasi tubuh; bila ada bagian yang sakit, maka yang lainnya akan bereaksi dan mengjaganya. Kepada masing-masing individu diberikan tugas dan pekerjaan yang sesuai dengan kemampuan dan kecakapan mereka.

Aktivitas-aktivitas sosial masing-masing berbeda sesuai tujuan masing-masing aktivitas yang paling baik adalah aktivitas yang diberikan kepada pemimpin, karena ia berada di dalam kota sebagaimana jantung di dalam tubuh manusia dan ia merupakan sumber seluruh aktivitas, pangkal keselarasan dan keteraturan. Karena itu, diperlukan persyaratan-persyaratan tertentu bagi penempatannya. Pemimpin harus berani, cerdas, pecinta pengetahuan, pendukung keadilan, dan ia harus naik ke tingkat intelegensi agen agar ia memperoleh wahyu dan inspirasi.

Sifat-sifat ini mengingatkan kita kepada raja filosof dalam Republik-nya Plato, tetapi al-Farabi menambahkan kepadanya kemampuan berhubungan dengan dunia langit, seolah kota dihuni oleh para wali dan diatur oleh seorang nabi. Berhubungan dengan intelegensi agen dimungkinkan melalui dua cara perenungan dan inspirasi.

Sebagaimana telah disebutkan di atas, ruh akan naik, melalui studi dan pencarian, ke tingkat akal yang diperoleh (acquiered intellect) ketika ia menjadi menerima cahaya ketuhanan. Tingkat ini bisa dicapai hanya dengan semangat suci para filosof dan para bijak, yaitu mereka yang dapat melihat kegiatan dan menangkap “cahaya dunia”.

Ruh suci, tak memperhatikan apa yang ada di bawah dan indera luarnya tidak pernah mengatasi indera dalamnya. Dan pengaruhnya melampaui wujud sendiri dengan mempengaruhi wujud-wujud lain dan segala yang terdapat di dunia ini. Ia menerima pengetahuan langsung dari Ruh Tinggi dan para malaikat tanpa perintah manusia pun. Maka, melalui studi-studi spekulatif yang berkesinambungan, orang bijak dapat berhubungan dengan intelegansi agen.

Hubungan ini juga mungkin terjadi melalui imajinasi sebagaimana terjadi pada para nabi, karena seluruh inspirasi atau wahyu yang mereka terima berasal dari imajinasi.

Imajinasi menempati kedudukan yang penting dalam psikologi al-Farabi. Ia berhubungan erat dengan kecenderungan-kecenderungan dan perasaan-perasaan, dan terlihat dalam tindakan-tindakan rasional dan gerakkan-gerakan yang berdasarkan kemauan. Ia menciptakan gambaran-gambaran mental yang bukan merupakan tiruan dari hal-hal yang dapat dirasa dan yang merupakan sumber mimpi dan visi.

Seandainya kita dapat menafsirkan mimpi secara ilmiah, maka ia membantu kita memberikan penafsiran tentang wahyu dan inspirasi, karena inspirasi kenabian berbentuk impian yang benar di kala tidur atau wahyu dikala jaga. Perbedaan di antara keduanya relatif, perbedaannya hanya terletak pada tingkatannya. Sebenarnya, mimpi yang benar tak lain hanyalah satu aspek kenabian. Bila imajinasi telah terlepas dari aktivitas-aktivitas yang dasar seperti dalam tidur, maka ia sepenuhnya ditempati oleh beberapa gejala psikologis. Dengan dipengaruhi oleh perasaan-perasaan badani tertentu, atau oleh emosi-emosi dan konsepsi-konsepsi tertentu, ia menciptakan gambaran atau komposisi-komposisi baru, dan dari gambaran-gambaran mental yang tertahankan, ia menciptakan bentuk-bentuk baru mereka.

Karena itu, kita bermimpi tentang air atau berenang ketika tempramen kita lembab, dan mimpi sering demikian mewakili pemenuhan atas suatu hasrat atau penghindaran dari rasa takut, sehingga seseorang yang sedang tidur bergerak di tempat tidurnya dalam rangka menanggapi emosi tertentu, atau meninggalkan tempat tidurnya dan memukul orang yang asing baginya, atau mengejarnya. Tidaklah perlu menunjukkan bahwa pandangan-pandangan ini, meski sederhana, sama dengan gagasan-gagasan para ahli psikologi modern seperti Freud, Horny dan Murray.

Di dalam daya imajinasilah tercipta gambaran-gambaran mental yang sesuai dengan pola dunia spiritual. Karena itu, orang yang sedang tidur bisa menyaksikan surga dan para penghuninya dan bisa merasakan kenikmatan dan kesenangannya. Imajinasi bisa juga naik ke dunia langit dan berhubungan dengan intelegensi agen sehingga ia bisa menerima keputusan langit tentang masalah-masalah dan kejadian-kejadian tertentu.

Melalui hubungan ini, yang bisa terjadi siang atau pun malam hari, kenabian dapat diterangkan karena ia merupakan sumber mimpi yang benar dan wahyu.

Menurut al-Farabi:
“bila daya imajinasi begitu kuat dan sempurna pada diri seseorang dan sepenuhnya teratasi oleh perasaan-perasaan luar ..... maka ia dapat berhubungan dengan intelegensi agen, yang darinya tercerminlah gambaran-gambaran tentang yang paling indah dan sempurna. Siapapun melihat gambaran-gambaran tersebut, ia akan menyaksikan keagungan Tuhan ....... begitu daya imajinasi manusia benar-benar sempurna – di kala jaga --- mungkin ia bisa menerima pra-visi, tentang apa yang sedang dan akan terjadi dari intelegensi agen .... dan dengan demikian, melalui apa yang telah diterimamnya itu, ia bisa meramalkan masalah-masalah ketuhanan. Ini adalah tingkat tertinggi yang bisa dicapai oleh imajinasi dan manusia dapat mencapainya melalui daya ini.

Jadi, sifat utama seorang nabi ialah memiliki daya imajinasi yang tinggi, yang melaluinya ia dapat berhubungan langsung dengan intelegensi agen di kala tidur atau jaga, dan dapat mencapai visi dan inspirasi. Adapun wahyu hanyalah suatu pemancaran (emanasi) dari Tuhan melalui intelegensi agen.

Beberapa orang, meskipun lebih rendah daripada nabi, memiliki daya imajinasi yang kuat, yang melaluinya ia bisa menerima visi dan inspirasi yang tingkatannya juga lebih rendah. Dengan cara ini al-Farabi menempatkan para wali di bawah para nabi. Imajinasi massa sangat lemah, sehingga tidak memungkinkan berhubungann dengan intelegensi agen, baik pada waktu malam maupun siang hari.

Usaha al-Farabi untuk melakukan perujukan bukanlah satu-satunya motivasi di balik teori ini. Pada abad ke-3 dan 4 H/ ke-9 dan 10 M terjadi gelombang besar skeptikisme yang menolak peramalan dan kenabian. Para juru bicara mereka mengetakan menyatakan beberapa alasan yang dikemukakan oleh orang-orang yang tidak percaya kepada kenabian. Yang berada di puncak skeptikisme itu ialah ibn al-Rawandi yang pernah menjadi pengikut Mu’tazillah, tetapi kemudian menolak ajaran mereka, dan Muhammad bin Zakaria al Razi yang dokter itu, adalah lawan yang tangguh.

Al-Razi terutama menolak setiap upaya merujukan agama dan filsafat, dengan anggapan bahwa filsafat adalah satu-satunya jalan untuk memperbarui pribadi dan masyarakat, sedangkan agama adalah sumber konflik dan perselisihan. Serangan ini membuat seluruh pusat-pusat keislaman mempertahankan dogma-dogma mereka. Al-Farabi merasa perlu ikut membela mereka. Ia menerangkan kenabian secara rasional dan menafsirkannya secara ilmiah.

Ia menerangkan hal itu atas dasar teori mimpi Aristoteles yang diperkenalkan kepada dunia Arab. Al-Kindi – pendahulu al-Farabi – berpegang pada teori tersebut. Ia beranggapan bahwa mimpi adalah gambaran yang dihasilkan oleh imajinasi yang kapasitasnya bertambah selama tidur setelah lepas dari aktivitas-aktivitas sadar.

Tetapi Aristoteles menolak bahwa mimpi berasal dari Tuhan, dan menolak peramalan-peramalan yang dilakukan oleh para nabi melalui tidur, jika tidak demikian, maka massa yang banyak mengalami mimpi akan mengklaim bisa meramalkan masa mendatang. Di sini al-Farabi berbeda dengan gurunya dan menyatakan bahwa melalui imajinasi manusia dapat berhubungan dengan intelegensi agen, adalah sumber hukum dan inspirasi ketuhanan.

Menurut al-Farabi, hal itu serupa dengan malaikat yang diberi tugas untuk menyampaikan wahyu sebagaimana dalam ajaran Islam. Kemampuan berhubungan dengan intelegensi agen dapat terdapat hanya pada nabi atau filosof, kalau nabi dengan imajinasi, sedangkan filosof dengan spekulasi dan perenungan. Hal ini dapat dimengerti karena keduanya berdasarkan pada sumber yang sama dan memperoleh pengetahuan mereka dari atas sana. Sebenarnya kebenaran agama dan filsafat merupakan pancaran pencerahan dari Tuhan melalui imajinasi atau penerangan.

Teori al-Farabi tentang kenabian mempunyai pengaruh yang jelas, tidak hanya pada Barat dan Timur, tetapi juga pada abad pertengahan dan sejarah modern. Ibn Sina mengikuti sepenuhnya teori ini. Pengupayaannya atas teori ini serupa benar dengan al-Farabi.

Ibn Rusyd mengakui keabsahan teori ini dan sangat heran atas kritik al-Ghazali karena teori ini memperkuat ajaran agama dan mengukuhkan bahwa kesempurnaan jiwa dapat diperoleh hanya melalui keberhubungan manusia dengan Tuhan. Ketika teori ini diperkenalkan kepada pemikiran-pemikiran filosofis Yahudi, maimonides mengambilnya dan menunjukkan banyak minat.

Dalam Tractatus Theologico Politicus-nya Spinoza, dapat dicatat bahwa spinoza menerangkan suatu teori serupa yang mungkin sekali dikutip dari Maimonides. Teori itu kemudian digunakan oleh para filosof Muslim modern, seperti Jamal al-Din al-Afghani dan Muhammad Abduh.


6. Penafsiran atas Al-Quran

Beberapa ajaran agama bersifat tradisional (sam ‘iyyat), dan tak dapat ditunjukkan lewat akal, seperti keajaiban, dan Hari Penentuan yang meliputi Hari Kiamat, Kebangkitan, Pengadilan dan Hukuman. Menerima sam’iyyat ini merupakan tiang agama. Orang-orang beriman menerima isinya dengan ketulushatian.

Tetapi, sebagian pemikir dalam upaya memberikan keterangan rasional, menafsirkannya dengan cara tertentu atau menganggapnya sekedar hukum alam. Dalam hal ini kaum Mu’tazilah telah berusaha, karena sedemikian jauh dalam menafsirkan ini sehingga mereka menentang kaum Transfiguris yang menyamakan Tuhan dengan sifat-sifat tertentu yang bertentangan dengan keesaan, kesucian dan ketinggian-Nya.

Al-farabi melakukan penafsiran yang berbeda. Ia mengakui keabsah keajaiban, karena hal itu merupakan alat untuk membuktikan kenabian. Ia berpendapat bahwa keajaiban, meski bersifat alami, tidak bertentangan dengan hukum alam. Karena sumber hukum ini terdapat pada dunia lingkungan dan intelegensi yang mengatur dunia bumi dan begitu kita berhubungan dengan dunia itu, maka kejadian-kejadian yang tak biasa akan terjadi pada kita.

Nabi, sebagaimana diterangkan di atas, mempunyai kekuatan jiwa yang dapat menghubungkannya dengan intelegensi agen. Melalui perhubungan inilah ia dapat menyebabkan hujan turun, tongkat dapat berubah jadi ular atau orang buta dan orang sakit lepra dapat disembuhkan. Dengan begini al-Farabi mencoba – sebagaimana kaum Stoic telah melakukan sebelumnya ---- menjadikannya sebagai kejadian- kejadian sebab-sebab yang berada di luar kebiasan alam dan bahkan bertentangan dengannya.

Al-Quran menunjuk kepada bermacam-macam sam’iyyat, seperti Tablet dan Pena. Al-Farabi berpendapat bahwa hal-hal ini hendaknya jangan dimengerti secara harfiah, karena Pena bukan lah alat untuk menulis, demikian pula Tablet, ia bukanlah halaman tempat mencatat kata-kata, tetapi keduanya hanyalah simbol ketetapan dan kelestarian. Al-Quran juga menerangkan secara luas akhirat, Hari Kiamat, pahala dan siksa.

Tak seorang beriman pun dapat mengingkari kejadian-kejadian ini tanpa merusak prinsip sangsi ketuhanan dan tanggung jawab individu. Meskipun al-Farabi mengakui secara penuh kebahagiaan yang kekal dan siksaan di akhirat, tetapi ia menjelaskan hal itu sebagai kejadian jiwa yang tidak mempunyai hubungan dengan tubuh atau materi, karena jiwa bukan tubuh yang merasakan kebahagiaan atau penderitaan, bahagia atau susah.

Penafsiran ini sesuai dengan kecenderungan al_Farabi kepada spiritualisme. Ibn Sina mengambil dan menggunakannya secara luas. Ibn Sina berpendapat bahwa Tahta dan Kursi adalah simbol-simbol dunia lingkungan. Shalat bukanlah sekedar gerakan fisik, tetapi bertujuan meniru dunia langit. Seolah kedua filosof ini ingin meletakkan landasan suatu agama filosofis dan filsafat religius.

Namun, al-Ghazali tidak puas dengan usaha ini dan ia menyerangnya, dengan mengambil tkes-teks Kitab Suci secara harfiah.

Ibn Rusyd, meskipun menyetujui kesesuaian antara agama dan filsafat, namun ia juga tidak puas dengan usaha-usaha itu, karena menurutnya, demi keselamatan keduanya, agama dan filsafat harus dipisahkan. Bila dicampur tidak akan dapat dimengerti oleh orang-orang biasa dan bisa menyesatkan bahkan orang-orang yang mampu berpikir secara mendalam.

... ... ... ... ...

Buku : History Of Muslim Philosphy
Suntingan : M.M Syarif M.A
Penerbit : Mizan
Tahun : Cetakan Ke VII 1994

No comments